MENGENANG Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Sosok cerdas, berani, dan pantang menyerah
Sebagian besar orang Aceh tentu masih ingat, pada peristiwa langka
Kamis 3 Juni 2010 lalu. Saat itu ribuan masyarakat Aceh berkabung,
berkumpul, lalu mengiringi jenazah dari Rumah Sakit Umum Zainal Abidin
(RSUZA) menuju tempat pemakaman di Desa Meureu, Aceh Besar. Jenazah
almarhum (alm) DR. Teungku Hasan di Tiro.
Iring-iringan dan raut berkabung ribuan orang hari itu, cukup memberi
penjelasan, sosok yang akan dimakamkan adalah tokoh kharismatik, yang
dihormati.
Seingat saya, di Aceh, peristiwa berkabung seperti pada 3 Juni 2010
itu adalah satu-satunya selama 23 tahun terakhir. Pada 1987 silam, orang
Aceh juga kehilangan tokoh besarnya, (alm) Teungku Muhammad Daud
Beureueh.
Tak hanya sama-sama sebagai tokoh kharismatik Aceh, Daud Beureueh dan
Hasan Tiro juga memiliki kesamaan lain. Sama-sama pernah memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, lalu sama memimpin perjuangan melepaskan Aceh
dari Indonesia. Lahir di bulan yang sama, meninggal di bulan dan tempat
yang sama pula.
Daud Beureueh lahir di Pidie pada 17 September 1899 dan meninggal 10 Juni 1987.
Alm Hasan Tiro. Bagi saya, kharisma yang dimiliki beliau tidak semata
karena jabatan Wali Nanggroe, atau karena darah biru pejuang Aceh yang
mengalir dalam tubuhnya, lebih dari itu. Dan saya juga tidak akan
menyebutnya sebagai sosok yang sempurna. Namun harus diakui, ia memiliki
semuanya, kecerdasan, keberanian, dan pantang menyerah.
Gelar doctoral (DR) yang disematkan pada nama depannya tentu saja
menjadi indikasi, ia memiliki tingkat akademisi yang tinggi. Apalagi
jika dibandingkan dengan orang-orang seangkatannya. Sejumlah buku dan
artikel juga dengan tegas memberikan klaim, Tgk Hasan memang sosok yang
cerdas.
T. Nasruddin Syah dalam bukunya “Aceh Negeri Bayangan” menyebut Alm
Hasan Tiro sebagai intelektual muda Aceh yang revolusioner, ketika pada
1970-an mulai memperjuangkan Aceh merdeka.
Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam, Belanda, menyebut Hasan Tiro
disebut sebagai seorang yang memiliki tingkat inteligensi tinggi,
berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat
pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati.
Azhari, kawan sepermainan Alm Hasan Tiro pada masa kecil di Desa
Tanjong Bungong, Tiro, mengaku tak habis pikir, karibnya itu mendapat
bonus melompat kelas saat menempuh pendidikan di Madrasah Diniyah
Islamiyah Blang Paseh, Kota Sigli. Dari kelas empat ke kelas enam.
Kesempatan langka yang dimiliki oleh murid-murid sekolah saat itu,
bahkan di zaman sekarang ini.
Banyak hal menarik yang diungkap Azhari, mengenai masa kecil Alm Hasan
Tiro, saat saya mewawancarainya akhir November 2009 lalu, di Desa
Tanjong Bungong. Hari itu, untuk pertama kali sejak sejak 30 tahun
terakhir Alm Hasan Tiro pulang ke kampung halamannya. Azhari menyebut
Hasan Tiro dengan sebutan Tengku Hasan.
Di masa kecil, Tengku Hasan suka bermain bola, bahkan dipercayakan
menyandang ban kapten. Azhari selalu menjadi rekan satu timnya.
“Bola dari boh giri (jeruk bali),” kata Azhari.
Tengku Hasan pemain bola yang handal, sering menciptakan gol, dan sulit
menerima kekalahan. Azhari kadang kewalahan memenuhi keinginan Tengku
Hasan. Jika timnya kalah, selesai pertandingan, Tengku Hasan langsung
merencanakan pertandingan untuk keesokan hari.
“Singeh tapeutaloe awaknyan!”
“Besok kita kalahkan mereka!”
Sikap kepemimpinan juga telah ditunjukkan Tengku Hasan sejak kecil.
Selesai bermain bola, ia memobilisasi beberapa pemuda gampoeng,
mengumpulkan kerikil dari sungai, lalu menaburinya di jalan-jalan desa
yang berlubang. Hasilnya, tak ada lagi lubang jalan yang dapat
mencelakai pengguna jalan di desa itu.
Di malam hari, Tengku Hasan mendampingi ibunya seumebeut (pengajian) di
balee semeubeut yang ada di rumahnya. Pulang sekolah, ia dan Azhari
mengajari anak-anak di desa belajar membaca dan berhitung. Tempat
belajar itulah yang menurut Azhari menjadi cikal bakal Madrasah
Ibtidayah Negeri (MIN) Tanjong Bungong saat ini.
Tengku Hasan berpisah dengan Azhari ketika ia melanjutkan pendidikan ke
sekolah normal, Bireuen. Tahun 1945, ketika remaja, kemampuan
kepemimpinannya dibuktikan dengan menjadi Ketua Muda Pemuda Republik
Indonesia (PRI) di Pidie, PRI adalah organisasi kepemudaan yang gencar
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada masa itu.
Kesempatan yang diperoleh Hasan Tiro untuk melanjutkan pendidikan ilmu
hukum di Universitas Columbia, Amerika Serikat dan diperbantukan sebagai
staf penerangan kedutaan besar Indonesia di PBB tentu saja tak terlepas
dari kecerdasan yang dimilikinya.
Lalu lihat sederet pengalaman Hasan Tiro lainnya. Mendirikan Institut
Aceh di Amerika Serikat, menjabat Dirut Doral International Ltd di New
York, punya andil di Eropa, Arab, dan Afrika dalam bisnis pelayaran dan
penerbangan. Diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai
penasehat agung uktamar Islam se-dunia, dan pernah menjabat sebagai
Ketua Mutabakh, Lembaga nonstruktural Departemen Dalam Negeri Libya
(Tempo: Juni 2000).
Sebuah kisah hidup yang langka, bocah dari desa pedalaman yang dahulu
bermain bola boh girie, kemudian dipercayakan menjabat posisi penting di
negara super power Amerika Serikat, Eropa, Arab dan Afrika. Tentu saja,
hal itu juga tidak tertutup kemungkinan bagi bocah-bocah Aceh lainnya.
Sebagai orang yang memiliki gelar doctor, Tgk Hasan tak semata-mata
hanya menyandang gelar tersebut. Ia melaksanakan tradisi-tradisi
inteleketual sebagaimana lazimnya yang dilakukan oleh kaum intelektual
lain di seluruh dunia, menulis; buku dan artikel.
The Unfinished Diary, Demokrasi Untuk Indonesia (1958), The Prince of
Freedom, adalah judul-judul buku yang ditulis Hasan Tiro semasa hidup.
***
DUTCH Commander: ”Which one is Tjut Njak Dien?” (No one volunteers to
show. Everyone stands up in silent disbelief of what is unfolding before
their eyes – but no one shows any sign of panick. Everyone stands on
his her ground.)
Dutch Commander: ”Will someone show me which one is Tjut Njak Dien!”
(More silince)
Dutch Commander: ”Bring Waki Him here!”
All camp members (almost in unison): ”Oh, you, Waki Him! We spit upon you Waki Him!”
(Waki Him is pushed forward to the front. He is obviously very
reluctant to show his traitorous face to his former friends. Waki Him
lamely points his fingers at Tjut Njak Dien, and he slowly walks to
wards her, and when he stands precisely in front of her, he says):
WAKI HIM: ”Forgive me, Your Highness, but I did this for your sake, so
that your suffer no more. Your illnesses can be cured. You will not have
to suffer hunger anymore!”
Tjut Njak Dien: ”I do not ask for your pity, Waki Him! Do you think we
are domestic animals whose primary requipment is only full belly? No
Waki Him, we are Free Achehnese, free human beings whose primary
requipment is not full belly, but full honor and dignity. We die for
honor and dignity, and not for food in the belly!”
Dialog tersebut adalah salah satu bagian cerita dari The Drama of
Achehnese History, sebuah buku drama. Ini adalah satu-satunya buku
naskah drama tentang sejarah Aceh yang saya ketahui. Karya Hasan Tiro,
bukan oleh seniman atau sejarawan Aceh yang lain yang namanya terkenal
itu. Ditulis tahun 1978, saat ia bergeriliya di Gunung Petisah, Pidie.
Saya belum pernah melihat buku itu. Sebagian dialog dari cerita
tersebut saya peroleh dari postingan salah seorang member di sebuah
milis komunitas orang Aceh.
Arif Zulkifli, dalam laporannya di Majalah Tempo edisi Mei tahun 2000
yang berjudul “Dua Jam Bersama Hasan Tiro” memberikan beberapa gambaran
tentang buku itu.
Bukunya bersampul kuning, seukuran diktat kuliah, 56 halaman. Materi
cerita tentang sejarah Aceh, dipadu dengan musik klasik. Adegan dibuka
dan ditutup dengan komposisi musik, Purcell, Johann Sebastian Bach,
Beethoven, dan beberapa komposer Barat lainnya. Beethoven, atau Ludwig
van Beethoven adalah komponis terbesar di dunia asal Jerman yang hidup
pada tahun 1770-1827.
Sampai sekarang, karya seniman besar ini masih menjadi rujukan para pelaku dan penikmat seni di seluruh dunia.
Halaman pengantar buku itu diisi Husaini Hasan, tokoh yang kemudian
menempuh jalur perjuangan sendiri dengan mendirikan Majelis Pemerintahan
(MP) GAM. Pengantar buku drama itu berisi suka duka saat Hasan Tiro
menulis buku tersebut.
Saya kutip laporan yang ditulis Arif Zulkifli
"Tengku (Hasan Tiro) menulis dari pukul 7 pagi hingga 6 petang. Kami
tak punya lampu jika malam. Itu semua dilakukannya sewaktu kami semua
berhari-hari menunggu suplai makanan dari kampung."
Bagi saya, sejumlah buku-buku yang ditulis Tgk Hasan memberi bukti, ia
tak sekedar menyandang gelar kosong, seperti yang dilakukan sebagian
intelektual Aceh saat ini. Hasan Tiro benar-benar mengisi gelarnya itu
dengan karya-karya intelektual.
Tulisan ini tentu saja bukan sekedar untuk memuja-muji Hasan Tiro. Tapi
untuk mengingatkan orang Aceh, khususnya pengikut dan pengagumnya. Demi
Aceh, Hasan Tiro telah berhasil memainkan perannya hingga ke tingkat
internasional. Semua itu dengan kecerdasan, keberanian dan sikap pantang
menyerah yang dimiliki.
Beliau telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk Aceh.
Mengajarkan tentang banyak hal. Tentang bagaimana memperjuangkan
martabat Aceh, bagaimana cara bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan
apa yang diyakini, mengajarkan tentang bagaimana seharusnya menjadi
intelektual, bahkan mengajarkan kita bagaimana semestinya menjadi
seniman.
Apakah semua pelajaran itu hanya untuk dikenang? Sebaiknya mari kita “mengamalkannya”.