post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Wooww ; Cina Akan Bangun Gedung Tertinggi dalam Tiga Bulan

Beijing - Sebuah perusahaan konstruksi Cina, Selasa, mengungkapkan rencana untuk membangun gedung pencakar langit tertinggi di dunia hanya dalam waktu tiga bulan. Gedung itu, Sky City, akan dibangun di Changsha, Cina tenggara. Bangunan 220 lantai itu akan memiliki ketinggian 2.749 kaki (838 meter).

Sky City akan memiliki properti hunian bagi 17.400 orang, yang dilengkapi dengan fasilitas hotel, rumah sakit, sekolah dan ruang kantor. Penghuni akan menggunakan 104 lift berkecepatan tinggi untuk berkeliling.
Bangunan setinggi setengah mil itu lebih tinggi 32 kaki dari bangunan tertinggi saat ini, Burj Khalifa di Dubai. Biaya pembangunannya diperkirakan hanya setengahnya. Apabila bangunana ini terealisasi, maka sembilan dari 10 pencakar langit tertinggi di dunia akan berada di Asia.
Yang paling mengesankan tentang Sky City adalah bahwa desainernya, Broad Group yang berpusat di Cina, berencana menyelesaikan bangunan itu hanya dalam 90 hari. Kecepatan ini menakjubkan. Setidaknya, lima lantai berdiri setiap hari. Ia menggunakan metode revolusioner di mana blok dibangun di luar lokasi dan dipasang bersamaan untuk menghemat waktu.

Meskipun ada kekhawatiran tentang kekakuan strukturnya, pengembang mengatakan bangunan itu akan mampu menahan gempa berkekuatan 9,0 skala Richter.
Rencana itu bukan janji kosong. Tahun lalu Broad membuat kejutan ketika membangun gedung 30 lantai dalam 15 hari.
Broad, yang berawal sebagai pembuat sistem pendingin udara di tahun 1980-an, akan mempekerjakan 3.000 orang dalam proyek tersebut. Berada di areal seluas 1 juta meter persegi dan menggunakan 200.000 ton baja, Sky City akan menjadi kota mini ketika selesai.
Gedung ini akan memiliki lebih dari 5.000 properti hunian bagi 17.400 orang, serta hotel berkamar 1.000, rumah sakit, lima sekolah dan ruang kantor dengan kapasitas keseluruhan 31.000.

Sky City diperkirakan akan menelan biaya sekitar £ 400 juta (Rp 6,1 triliun), jauh lebih kecil daripada biaya Burj Khalifa £ 940 juta (Rp 14,1 triliun) yang memakan waktu lebih dari lima tahun untuk pembangunanannya.
Broad masih menunggu persetujuan akhir dari pemerintah Cina. Mereka berharap proyek ini dimulai menjelang akhir Desember dan akan selesai sebelum April 2013.
http://www.tempo.co

ALLAHU AKBAR ; Palestina Menang, Israel Akhiri Blokade

GAZA - Israel mengakhiri blokade laut, udara dan daratnya terhadap Jalur Gaza sebagai syarat gencatan senjata Palestina agar bersedia menghentikan serangan-serangannya terhadap Israel dalam perang delapan hari terakhir.Blokade diakhiri di 67 titik lokasi perbatasan di Jalur Gaza, menurut laporan koresponden MINA dari Gaza, Rabu malam.Blokade diakhiri, Israel dalam kesepakatan itu menyatakan membuka penyeberangan dan memfasilitasi pergerakan orang, mengirimkan barang, menahan diri dari membatasi pergerakan bebas dan menargetkan penduduk di daerah perbatasan serta pelaksanaan prosedur akan ditangani setelah 24 jam dari dimulainya gencatan senjata.

Kedua pihak menyatakan kesediaan tidak akan melakukan segala tindakan yang akan melanggar pemahaman dalam kesepakatan ini jika terpantau, Mesir sebagai pendukung pemahaman ini akan diberitahu untuk menindaklanjuti.Kesepakatan gencatan senjata itu sendiri diumumkan langsung oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Cinton, saat konferensi pers di Kairo pukul 19:30 waktu Gaza, di mana ditegaskannya gencatan senjata dimulai pukul 21:00 waktu Gaza (02:00 WIB).Pengumuman ini disambut dengan pekikan-pekikan "Allahu Akbar, Allahu Akbar" oleh warga Gaza yang turun ke jalan-jalan, menurut laporan koresponden MINA, dari Gaza, Rabu malam.Pengumuman di Kairo tersebut disambut sebagai kemenangan oleh warga Gaza yang juga mengikuti perkembangan di ibukota Mesir lewat siaran-siaran radio dan televisi. Suara-suara tembakan senjata otomatis turut terdengar di berbagai penjuru Kota Gaza, yang agaknya merupakan tanda kemenangan bagi Palestina.

Dalam perlawanannya sejak Selasa malam pekan lalu, para pejuang Palestina di Gaza menembakkan lebih dari 1000 roket berbagai jenis, di antaranya ada yang mencapai ibukota Tel Aviv, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sumber-sumber Al Qassam mengatakan simpanan roket mereka masih bisa bertahan untuk tiga bulan mendatang.

Selain mampu menimbulkan ketakutan tertentu pada penduduk Israel dengan roket-roketnya, para pejuang Palestina juga berhasil merontokkan sebuah pesawat tempur F-16 dan Apache Israel, serta sejumlah pesawat tanpa awak (drones) yang digunakan Israel untuk melakukan pengintaian sekaligus penembakan.Gencatan senjata tercapai setelah Menlu Hillary dan Sekjen PBB Ban Ki-moon berbicara dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas di Ramallah Rabu petang. Hillary kemudian bergegas ke Mesir untuk menemui Presiden Mesir Mohammad Mursi.Hillary  dalam kunjungannya menemui Presiden Palestina, Mahmud  Abbas, mengatakan Pemerintah AS berusaha mengerahkan semua upaya yang mungkin untuk mencapai gencatan senjata di Gaza.    Presiden Abbas mengatakan kepada Hillary bahwa semua faksi, termasuk Hamas dan Jihad Islam, berusaha untuk mencapai ketenangan bersama demi berhentinya pembunuhan Israel di Gaza.

Abbas saat konferensi pers usai pembicaraan dengan Sekjen PBB  mengatakan Israel bertanggung jawab terhadap konflik yang telah membuat salah satu petinggi Hamas, Ahmed jabari, terbunuh. "Israel harus segera menghentikan serangan militernya dan kemudian Hamas akan ikut menghentikan semua tindakan tersebut."Hingga Kamis (22/11) pukul 01:05 WIB jumlah warga Gaza yang meninggal mencapai 161 dan lebih dari 1200 lainnya luka-luka.  Korban anak-anak yang terluka mencapai 431 serta 207 lainnya adalah wanita.Pemerintah Israel terus menerapkan blokade atas wilayah Jalur Gaza dan menutup jalur keluar masuk  bagi 1,6 juta warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza. Israel menerapkan blokade darat, udara dan laut  total atas Gaza sejak Juni 2007 silam, menyusul terpilihnya Hamas  dalam pemilu demokratis untuk memimpin wilayah tersebut.Akibat blokade Israel ini, lebih dari 80 persen keluarga yang tinggal di kawasan Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan. Blokade telah mengubah wilayah Gaza seperti layaknya penjara terbuka terbesar di dunia.

http://aceh.tribunnews.com

Bendera Aceh Dalam Catatan Sejarah

RANCANGAN Qanun Aceh mengenai Bendera Aceh menimbulkan silang pendapat setelah DPRA merilis bendera yang akan dijadikan sebagai salah satu identitas Aceh, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Gedung AAC Dayan Dawood, Darussalam, Banda Aceh, Senin 19 November 2012.
Berdasarkan usulan eksekutif, bendera Aceh yang akan dipakai sebagai bendera daerah adalah bendera Bulan Bintang strip hitam putih dengan latar belakang berwarna merah.
Sementara beberapa peserta RDPU DPR Aceh mengusulkan agar bendera Aceh disesuaikan dengan bendera kerajaan tempo dulu. Bendera yang dimaksud adalah bendera Alam Peudeung atau kerap disebut pada masanya sebagai Alam Zulfikar.
Bendera ini bermotif pedang tunggal dan bulan bintang yang dibuat oleh Ali Mughayat Syah, Sultan Aceh pertama yang memimpin Aceh dari tahun 916-936 H atau sekitar tahun 1511-1530 M.
Salah satu catatan yang menguatkan keberadaan bendera tersebut turut dirangkum dalam salah satu hadist maja Aceh;
"Di Aceh na Alam Peudeung//Cap sikureung bak jaroe raja//dari Aceh sampoe u Pahang// Hana soe tentang Iskandar Muda// Iskandar Tsani duk keu geulanto// Lako Putro Tajul Mulia."
Menurut keterangan salah satu alumni FKIP Sejarah, Azwar AG, S.Pd, mengatakan, bendera Alam Peudeung merupakan bendera yang telah dipakai sejak Kerajaan Aceh diperintah oleh Ali Mughayat Syah.Bendera tersebut, kata dia, juga sudah diresmikan sebagai bendera kerajaan sejak tahun 1412 M sejak kerajan-kerajaan Aceh bersatu. Namun, Azwar mengatakan, ada beberapa pendapat mengenai penggunaan perdana bendera tersebut.
"Ada pula yang mengatakan bendera Alam Peudeung dipakai sejak tahun 1412, ada yang menuliskan tahun 1413 dan 1415 Masehi," ujar dia, Senin 19 November 2012.
Kata dia, sementara bendera yang diusulkan dalam rancangan qanun Aceh terkait Bendera Aceh tersebut oleh DPRA, merupakan bendera perjuangan yang pernah dideklarasikan Wali Nanggroe Hasan Muhammad di Tiro, medio tahun 1960-an. Dia mengatakan, jika merujuk kepada sejarah, maka bendera tersebut bukan bendera Kerajaan Aceh yang pernah dipakai beberapa abad lalu.
"Bendera bulan bintang dengan strip hitam putih berlatar belakang warna merah merupakan bendera GAM. Bendera tersebut dipakai semasa perjuangan. Sama halnya seperti bendera Darul Islam (DI) Tentara Islam Indonesia (TII) yang pernah menggunakan dasar merah sebagai bendera perjuangan dan bendera berlatar belakang hijau sebagai bendera negara," tutur dia.
Di Aceh, kata dia, juga ada beberapa bendera lainnya yang kerap dipergunakan pada masa kerajaan. Seperti bendera dengan motif pedang tegak berdiri di samping gambar bulan yang disusun rapi dalam bentuk kaligrafi arab yang ditulis dengan tinta. Menurut Azwar, bendera tersebut merupakan bendera Kerajaan Pasai yang dipergunakan sebelum menggabungkan diri dengan Kerajaan Aceh.
Bendera tersebut, masih tersimpan rijksmuseum yang memiliki catatan lengkap tentang perlawanan rakyat Aceh melawan tentara Belanda. Bendera tersebut disita oleh Belanda pada tahun 1840 dalam penyerbuan ke benteng Malay saat melawan Kerajaan Aceh.
Sementara itu, beberapa akademisi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Sejarah Universitas Syiah Kuala yang dihubungi ATJEHPOSTcom, terkait hal ini tidak bisa memberikan tanggapannya karena sedang beraktivitas di luar daerah.
Berita terkait :
Bendera dalam Rancangan Qanun Lambang Aceh Diusulkan Mirip Masa Kerajaan
Ini Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh
 http://atjehpost.com

Catatan Sejarah Pulau Weh Sabang

 Kota Sabang yang menjadi bagian dari Pulau Weh menyimpan begitu banyak keunggulan, terutama di sektor sumber daya alamnya. Pulau kecil itu memiliki cadangan energi panas bumi di dua lokasi sekaligus, memiliki danau sebagai sumber air bersih dan potensi pariwisata yang menjanjikan.
Jauh sebelum Sabang menjadi seperti sekarang, sejarah kota itu dimulai sejak masa Kerajaan Aceh. secara garis besar sejarah Sabang terbagi dalam tiga periode yaitu masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda dan masa Jepang.Sabang tempo dulu merupakan daerah benteng pertahanan bagi Bandar Aceh, kini disebut Banda Aceh. konon, di sekitar teluk Balohan pernah ditemukan 40 pucuk meriam kuno. Yang tertinggal hanya satu pucuk dan kini diletakkan di Taman Kanak-kanak Malahayati Sabang. Dalam sebuah buku yang berjudul “Buhairah” karangan Parsi Hshim Beg Fuzumi, dikatakan bahwa dahulu sebuah armada Portugis berusaha merebut Banda Aceh dan pulau bentengnya. Namun, usaha tersebut gagal karena Aceh menumpahkan minyak ke laut dan membakarnya dan memusnahkan armada Portugis.
Pada tahun 1511 Portugis berhasil merebut bandar Malaka. Perebutan ini menyebabkan para pedagang islam nusantara pindah ke Banda Aceh. Jalur pelayaran pun beralit dari selat Malaka ke pantai barat Sumatera.Pada 1 Januari 1513, gabungan armada Demak dari Jawa dan Aceh menyerang Portugis di Malaka, namun gagal. Seiring dengan itu Banda Aceh berkembang pesat. Kala itu Portugis melakukan kerjasama dagang dengan kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai, sehingga menyebabkan terjadinya persaingan dengan Portugis.Tahun 1524 raja Ali Mughayat Syah merebut Pedir dan Pasai, sehingga Portugis terusir. Namun Portugis berusaha mengalahkan Banda Aceh dengan berusaha merebut benteng Aceh di Pulau Weh. Tetapi armada Portugis dapat dikalahkan oleh Aceh. Sehingga Balohan menjadi bagian kerajaan Aceh yang pertama.
Abad XIX negara Belanda, Inggris, Amerika dan Perancis mulai melirik Sumatera. Pada tahun 1824 tercapai perjanjian London antara Belanda dan Inggris yang bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik Belanda-Inggris di Selat Malaka. Perjanjian ini menetapkan ruang lingkup pengaruh masing-masing. Dalam perjanjian itu Inggris menjamin kemerdekaan Aceh, sehingga Aceh pun tumbuh menjadi kekuatan perdagangan dan politik.Tahun 1820-an Aceh berhasil menjadi pemasok sebagian besar pasokan kebutuhan lada dunia. Pada tahun 1860-an Belanda memperoleh konsesi dari Sultan Siak untuk membuka perkebunan tembakau di Deli. Inilah awal konflik Aceh dengan Belanda karena Siak berada di bawah jurisdiksi Aceh.Tahun 1871 tercapai perjanjian Sumatera antara Inggris dan Belanda. Inggris memberikan kebebasan kepada Belanda untuk meluaskan kekuasaannya di Sumatera. Pada tahun 1873 utusan Aceh mengadakan pembicaraan dengan konsul Amerika di Singapura. Pada bulan April 1873 Belanda mendaratkan 3.000 orang pasukannya yang dipimpin oleh Jenderal Kohler. Namun, serangan Belanda ini dapat dikalahkan oleh Aceh. Bahkan Jenderal Kohler tewas.
Akhir tahun 1873 dikirim ekspedisi kedua yang lebih besar dipimpin oleh Van Swieten. Mereka berhasil menduduki Banda aceh. Perlawanan terus dilakukan oleh Aceh. Belanda membentuk pasukan khusus, pasukan Marsose dipimpin oleh Van Heutz meneruskan penaklukan Aceh. Namun perlawanan Aceh berlanjut terus sampai awal Perang Dunia II.Pulau Weh yang terletak pada 96’ Bujur Timur dan 6’ Lintang Utara sebagai pulau terbarat Indonesia di mulut Selat Malaka menduduki posisi geografis yang strategis. Setiap kapal yang memasuki kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara serta Asia Timur harus melewatinya. Belanda menyadari hal ini, kemudian Belanda membangun kota Sabang dan pelabuhannya.Tahun 1895 Sabang dinyatakan secara resmi menjadi pelabuhan bebas. Sabang terutama berfungsi sebagai pelabuhan pemasok bahan bakar kapal dan pengisian air bersih. Tahun 1899 dibentuklah ‘NV. Zeehaven en Kolenstation Sabang” yang memasok batubara, air bersih, bengkel dan docking kapal, pekerjaan konstruksi serta keagenan perusahaan perkapalan.
Untuk kelengkapan pelabuhan, selain dermaga, dibangun pula gudang-gudang batu bara, derek untuk bongkar muat batu bara yang digerakkan tenaga listrik buatan pabrik Kruppt, Jerman. Belanda juga menempatkan satu pasukan marsose di Sabang. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja Belanda memasukkan tenaga kerja dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk juga dari Arab, Nias, Cina, Jawa. Oleh karena itu penduduk Sabang sangat heterogen.
Sejak itulah Belanda di Sabang mencapai kejayaannya, dan menjadikan pelabuhan Sabang sebagai pelabuhan lima besar di Indonesia saat itu, yang hingga kini masih bisa kita lihat dengan jelas jejak karya mereka, mulai dari bangunan pelabuhan, perumahan dan basis pertahanan serta peninggalan aset kultural yang diwariskan kepada warga Sabang, yaitu heterogenitas budaya yang mewatak dalam generasi Sabang.

Artikel ini dikuti dari group Sabang Heritage Society (SHS)
http://atjehpost.com

Qanun Wali Nanggroe Milik Aceh

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan Qanun Wali Nanggroe. Merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan MoU Helsinki. Tidak melanggar konstitusi negara.===========
Beberapa pegawai negeri sipil di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh tampak duduk di pintu masuk utama gedung, Jumat 2 November 2012. Seorang di antaranya sibuk melayani absensi undangan. Tepat pukul 09.43 WIB, sejumlah anggota dewan memasuki ruangan paripurna. Mereka satu per satu duduk di tempat masing-masing. Sidang kali ini dipimpin Wakil Ketua DPR Aceh, Amir Helmi.
Amir mengesahkan Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe menjadi Qanun Aceh bersama tiga rancangan qanun lainnya: Dana Abadi, Perkebunan, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh. “Lembaga Wali Nanggroe beserta perangkat dan lembaga adat memiliki kewibawaan subtansial. Kita berharap Qanun ini nantinya menjadi kekuatan alternatif menyelesaikan berbagai masalah kemasyarakatan ketika kekuasaan formal tidak mampu melakukannya,” kata Amir saat itu.
Seusai sidang, Ketua Panitia Khusus Lembaga Wali Nanggroe, Teungku Ramli, mengatakan  itu merupakan qanun penting dalam pembangunan Aceh. “Kita telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Aceh dan luar Aceh karena kelembagaan Wali Nanggroe milik semua rakyat Aceh. Kita sangat berharap qanun ini bisa diterima oleh seluruh masyarakat Aceh,” kata anggota Fraksi Partai Aceh ini.Namun, beberapa hari setelah pengesahan itu, Rabu 7 November 2012, warga di Gayo menggelar aksi soal Qanun Lembaga Wali Nanggroe itu. Mereka menilai qanun belum mengakomodasi kepentingan masyarakat Gayo dan suku-suku lainnya di Aceh Tengah. Aksi antiqanun ini diiyakan DPRK Aceh Tengah.
Menurut Akademisi Aceh asal Takengon, Salman Yoga, kepada The Atjeh Times Kamis pekan lalu, warga Gayo tidak menolak Qanun Wali Nanggroe. Subtansi qanun, kata Salman, yang menjadi permasalahan. “Dasar dari Qanun Wali Nanggroe juga harus ada unsur adat dan budaya Gayo, yakni sarakopat. Pasalnya, suku dan budaya Gayo juga bagian dari Aceh. Ekstensi ragam budaya dan suku yang ada di Aceh harus diakui dalam Qanun Wali Nanggroe,” kata Salman.
Jika substansi qanun yang disebutkan Salman seperti kekhususan berbahasa Aceh untuk Wali Nanggroe, Juru Bicara Fraksi Golkar DPR Aceh, Amiruddin, sudah lebih dulu meminta hal itu diperjelas. “Jika berbahasa Aceh merupakan syarat mutlak, perlu diperjelas bahasa Aceh yang mana? Sebab, bahasa Aceh terdiri dari bahasa Aceh pesisir, Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jamee, dan Simeulu," kata Amiruddin dalam sidang mendengarkan pandangan akhir fraksi DPRA, Jumat 2 November 2012.
Sedangkan Juru Bicara Fraksi Demokrat, Jamaluddin T. Muku, meminta calon Wali Nanggroe dan perangkatnya dites baca Alquran, seperti pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah lainnya. “Sebagaimana seorang calon gubernur dan calon anggota DPRA, DPRA, bupati dan wali kota yang diuji kemampuan membaca Alquran dengan baik,” ujar Jamaluddin.
Hal serupa juga dikatakan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan, Anwar Idris. “Secara keseluruhan kita setuju dengan Qanun Wali Nanggroe agar disahkan menjadi Qanun Aceh,” ujar Anwar. Ketua Fraksi Partai Aceh Teungku M. Harun juga setuju soal isi qanun. Namun, ia meminta ditambahkan beberapa bidang pada majelis khazanah Lembaga Wali Nanggroe, seperti Bidang Langet dan Bidang Laot, serta Pulo.
Seusai mendengarkan pandangan akhir fraksi, sidang sempat diskor pukul 11.15 WIB. Pimpinan sidang saat itu, Sulaiman Abda, sepakat agar usulan fraksi dibahas di Badan Musyawarah DPR Aceh. Usai rapat di Badan Musyawarah, sorenya, Amir Helmi meluruskan soal bahasa Aceh yang dimaksud dalam qanun itu. Soal bahasa ini tercantum dalam pasal 69 poin c dan pasal satu ayat 20.
“Bahasa Aceh yang dimaksud pada ayat tersebut bisa salah satu dari ragam bahasa yang ada di Aceh. Maksud bahasa Aceh tersebut, terdiri dari bahasa Aceh pesisir, Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jamee, dan Simeulue. Keputusan ini sudah kita masukkan dalam rancangan qanun. Hal ini dimaksud karena kelembagaan Wali Nanggroe milik bersama.”
****
Ketua Badan Legislasi DPR Aceh, Abdullah Saleh, Rabu pekan lalu mengatakan, Qanun Wali Nanggroe mempunyai landasan kuat, yaitu Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan MoU Helsinki. “Landasan konstitusionalnya pasal 18b Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Abdullah Saleh. Ia menolak jika dikatakan Qanun Wali Nanggroe melanggar konstitusi Republik Indonesia.
Abdullah Saleh meminta semua pihak tidak ragu sedikit pun tentang Qanun Wali Nanggroe. “Termasuk kepada aparat intelijen yang mungkin ada di sini. Kabarkan kepada semua pihak jangan ada keraguan sedikit pun dengan Qanun Wali Nanggroe,” ujar Abdullah saat menjumpai masyarakat barat-selatan Aceh yang berunjuk rasa ke gedung DPRA.
Anggota DPR Aceh yang juga berasal dari pantai barat-selatan Aceh ini mengatakan syarat bisa berbahasa Aceh tidak diskriminasi. Menurut dia, yang dimaksud bahasa Aceh dalam persyaratan menjadi Wali Nanggroe adalah bahasa yang hidup, tumbuh, dan berkembang di Aceh. “Semua bahasa yang ada di Aceh, termasuk bahasa Jamee, Gayo, dan lainnya yang ada di Aceh,” ujar Abdullah Saleh.
Terkait tidak adanya syarat membaca Alquran dalam qanun itu, Abdullah Saleh menyatakan tatacara pemilihan Wali Nanggroe berbeda dengan pemilu pada umumnya. Menurut dia, Wali Nanggroe akan dipilih oleh Majelis Mufti, Tuha Peut, dan Tuha Lapan dalam komposisi tim. “Wali Nanggroe juga akan dinilai tingkat pemahaman agama oleh tim, termasuk pemahaman Islam yang mendalam. Kita berkaca pada pemilihan khalifah pada zaman Umar bin Khatab,” ujar Abdullah Saleh.

MURDANI ABDULLAH | NAZAR A. HADI | ZULKARNAIN
 http://atjehpost.com

Anak Aceh : Malik Mahmud yang Asli Lambaro

RUANGAN itu tak terlalu luas, sekitar 10 x5 meter. Sebuah lukisan wajah almarhum Teungku Hasan Muhammad di Tiro terpajang. Di dinding sebelah kiri, ada puluhan foto semenjak Wali Nanggroe muda hingga tutup usia pada 4 Juni 2010 lalu. Memasuki ruangan itu, seperti membaca kembali riwayat hidup Hasan Tiro dalam bingkai foto.
Ada sebuah meja di ruangan tengah. Di ruangan inilah Malik Mahmud menerima tamunya. Tak ada menu istimewa. Hanya ada air mineral, biasanya ada satu sisir pisang barangan --di Aceh disebut pisang ayam-- dan jeruk manis tersaji dalam piring putih.
Hampir setiap hari, ada saja yang datang. Mulai dari sekedar silaturrahmi, diskusi politik, hingga rapat-rapat penting menyangkut arah masa depan Aceh.
Terletak di kawasan Geuceu, Banda Aceh, Malik sudah menempati rumah itu sejak kembali ke Aceh April 2006 lalu. Sebetulnya ini rumah kontrakan.
Setiap hari, sekitar 20-an petugas yang direkrut dari kalangan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka bergantian menjaganya 24 jam. Selain penjaga, Malik ditemani seorang lelaki yang bertugas mengurusi kebutuhannya sehari-hari.
Setelah Teungku Hasan Tiro wafat, Malik menjadi orang nomor satu di tubuh organisasi mantan gerilyawan ini. Dia kini Pemangku Wali Nanggroe.
Sekilas Malik terlihat sebagai sosok yang dingin, misterius dan tertutup. Tak banyak riwayat hidupnya yang diketahui khalayak. Di media, ia hanya bicara sepotong-sepotong. Tapi sesungguhnya, Malik adalah sosok yang enak diajak bicara dan susah berhenti bila bercerita tentang sejarah dan kisah lama. Kadang tertawa lepas, saat mengenang kisah-kisah yang lucu. Kadang serius dengan mimik haru.
Lahir pada 29 Maret 1939 silam, Malik asli berdarah Lambaro, Aceh Besar. Orangtuanya, Teungku Haji Mahmood dan Nyak Asiah, adalah saudagar alias pedagang yang kerap keluar Aceh untuk menjalankan usaha. Pada 1925, karena melanggar aturan Belanda yang memonopoli perdagangan, ayahnya hijrah ke Singapura.
Selain berdagang, Teungku Mahmood terlibat dalam perjuangan mengusir penjajah. Ketika Indonesia merdeka, peran itu masih berlanjut. Saat DI/TII di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh meletus pada 21 September 1953, Tengku Mahmood terlibat langsung mendukung Daud Beureueh, jabatannya sebagai duta. 
Rumahnya menjadi tempat singgah bagi tokoh-tokoh yang ke luar negeri mencari perbekalan perang dan membangun diplomasi dengan negara luar. Jadilah, rumah Malik bagai terminal bagi orang-orang Aceh yang ke sana.
“Rumoh di Singapura ka lagee meunasah,” kenang Malik. Bahkan, ia pernah berbagi kamar dengan Hasan Saleh, salah satu pentolan DI/TII.
Malik yang saat itu masih berusia 14 tahun, sering diminta ayahnya untuk membalas surat para pejuang dari Aceh. Ia juga bertugas sebagai pencuci negative film, gambar-gambar kegiatan DI/TII di Aceh.
Dari situlah ia berkenalan dengan perjuangan Aceh. Ia juga kerap diminta ayahnya menjadi mata-mata, menjaga agar rapat-rapat rahasia tak diketahui intelijen negara. “Malek, ka kalen na awak nyan di lua,” cerita Malik meniru kata sang Ayah. Mendapat perintah, Malik muda pun sigap memantau di luar rumah.
Dari sekian surat yang dibalas, Malik sangat terkesan dengan surat dari Hasan Tiro yang saat itu bermukim di Amerika Serikat. Dari situlah, dia mulai menaruh simpati dengan tokoh yang kemudian memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka. 
Mereka pertama kali bertemu muka awal 1963, saat Hasan Tiro ke Singapura. Dia menginap di rumah Malik dan banyak berdiskusi soal Aceh. Pertemuan itu begitu membekas di benak Malik. “Saya tertarik penampilannya, sopan, wibawa, kharismatik. Saya banyak belajar dari beliau,” kata Malik.
Setelah DI/TII mereda, Malik sibuk membantu ayahnya mengembangkan bisnis. Begitu juga Hasan Tiro yang membangun bisnis di Amerika Serikat. Tapi hubungan keduanya tetap berlanjut dalam surat menyurat.
Malik kerap pulang membangun bisnis. Dia mendengar dan mempelajari bagaimana orang Aceh hidup, juga menyerap aspirasi bahwa warga belum puas terhadap perdamaian. Kesejahteraan hidup masih jauh dari harapan.
Kesempatan untuk bersama Hasan Tiro datang pada 1974. Hasan Tiro yang sempat dilarang masuk ke Indonesia, diijinkan pulang karena abangnya Zainal Abidin meninggal dunia. Syaratnya, tak menyentuh sisi politik. Syarat itu disanggupi.
Berangkatlah Hasan Tiro menuju Kuala Lumpur. Malik menunggu di sana. “Malik saya berangkat ke Aceh, kamu ikut saya.” Malik mengiyakan ajakan itu.
Dari Kuala Lumpur, perjalanan dilanjutkan ke Medan. Muhammad Lampoh Awe yang menunggu di sana mengantar mereka dengan dua mobil. Tujuan pertama adalah rumah Zaini Abdullah – sekarang Zaini adalah Gubernur Aceh-- di Kuala Simpang. Saat itu, Zaini berprofesi sebagai dokter di Puskesmas setempat. Itulah pertama kalinya Malik bertemu Doto Zaini.
Malam itu mereka berbagi cerita, diselingi canda tawa sampai pagi. Banyak warga berkumpul, semua bicara perang dan  menginginkan kembali adanya gerakan kemerdekaan. “Nyoe woe ken untuk meu prang (ini bukan pulang untuk perang),” kata Hasan Tiro kala itu.
Sepanjang Medan – Pidie, mereka kerap singgah di warung-warung. Hasan Tiro saat itu memakai peci dengan baju safari kuning. Juga memegang tongkat. Di mana mereka singgah selalu ramai disambut warga. Di Pidie, mereka sempat diikuti intel pemerintah.
Setelah kepulangan itu, mereka kerap bertemu di Singapura dan membahas politik Aceh. Beberapa tokoh di Aceh juga datang. Sebuah kesimpulan diambil: gerakan kemerdekaan harus dideklarasikan.
Tahun 1976, ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka, Malik tak ikut. Dia memantau dari Singapura. Kabinet dibentuk, Malik mengisi posisi sebagai Menteri Negara.
Sejak itu, panggilan Mentroe melekat di depan namanya.
Sebagai Meuntroe, Malik mendapat tugas berat. Keberadaannya di Singapura yang berbatas langsung dengan Indonesia membuatnya jadi penghubung antara wali dan para gerilyawan. “Jika Wali berhalangan, saya yang menjalankan tugas.”
Ia juga bertugas memasok senjata sampai merekrut pasukan untuk dilatih. Yang fenomenal adalah pelatihan di Maktabah Tazzura di Libya. Bersama Wali, Malik sering ke sana, termasuk menghadiri pertemuan dengan seluruh pasukan gerilyawan yang memperjuangkan kemerdekaan di negaranya pada 1986. Ada dari gerilyawan Philipina dan Thailand, bahkan belahan Afrika lain.
Malik adalah pemikir strategi perang. Dari luar negeri, Malik mengkoordinir pasukan di lapangan lewat Geuchik Umar yang memimpin pasukan gerilyawan.
Ketika Geuchik Umar meninggal, Malik yang mencari penggantinya. Setelah menghubungi para panglima di lapangan, semua merujuk pada satu nama; Abdullah Syafii. Malik lalu menyurati Wali. Balasannya; mengangkat Teungku Lah, nama sapaan Abdullah Syafie, sebagai panglima perang. Surat berlaku satu tahun.
Satu tahun berlalu, masa jabatan habis. Tak nyaman, Teungku Lah menghubungi Malik. “Lalu saya bilang, jalankan saja jabatan itu, ini sudah saya sampaikan secara lisan dan tak perlu surat lagi.” Abdullah Syafii lega, dan terurs memimpin kombatan.
“Saya tak pernah bertemu Teungku Lah sampai beliau syahid. Tetapi semua instruksi dijalankan dengan baik. Sayang, beliau lebih dahulu pergi meninggalkan kita,” kata Malik.
Sepeninggal Teungku Lah, Muzakir Manaf diangkat sebagai pengganti. Berbeda dengan Teungku Lah, Malik sudah sering bertemu Muzakir. Apalagi, Muzakir adalah lulusan terbaik Kamp Tanjura.
Tugas terberat Malik adalah ketika proses perundingan di mulai. Tahun 2003 saat perundingan di Tokyo, Malik menghadapi tugas berat. Perundingan tak men­capai titik temu. GAM menghendaki kemerdekaan Aceh, RI menolak dan hanya memberikan opsi otonomi khusus.
Malik bertanya ke lapangan, dan hasilnya para panglima mengatakan lebih bagus berperang. Perjanjian damai dihentikan, maka Aceh pun berstatus darurat Militer.
Malik bersama Zaini terus memimpin dari Swedia. Bahkan Pemerintah Indonesia pernah memperkarakan mereka sebagai warga asing yang menyulut perang di Indonesia. Mereka sempat ditahan dua malam di penjara sana untuk pemeriksaan, tapi kemudian dilepas lagi karena tak terbukti.
Pintu damai kembali terbuka setelah Aceh dihantam gelombang tsunami 26 Desember 2004. Aceh berduka. Pintu masuk perdamaian dibuka kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Martti Ahtisaari dari Crisis Management Inisiative menjadi mediator. Malik Mahmud memimpin delegasi GAM. Dalam perundingan lima babak itu, damai kemudian ditoreh di Aceh, 15 Agustus 2005.
Damai datang, Malik pun menjadi lebih sering menjejakkan kakinya di Aceh. Sejak itu, dia berpikir kembali untuk membangun Aceh di masa damai. Meninggalkan bisnis dan empat anaknya di luar negeri. Istrinya Mariam Muhammad Said telah tiada.
Malik selalu jadi pendamping Wali sebagai penjaga amanah. Saat wali pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008, Malik lah yang membaca amanah Wali. “Biaya perang mahal, biaya memelihara perdamaian juga lebih mahal. Maka dari itu, peliharalah damai untuk kesejahteraan kita semua,” begitulah amanah Wali.
“Saya akan selalu menjaga amanah Wali untuk kesejahteraan rakyat Aceh, meneruskan perjuangan beliau,” kata Malik.
Ditanya tentang sejumlah kontroversi tentang dirinya yang muncul di internet, Malik hanya tersenyum. "Yang penting kita berbuat yang terbaik saja," ujarnya.
Malam itu, ketika kami pamit pulang, ia mengantar hingga ke mulut pintu.
 http://atjehpost.com
Gubernur Aceh, Zaini Abdullah memuji pidato dan ingatan kuat yang dimiliki Presiden SBY, menjelang gencatan senjata dan perundingan damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka, medio 2005 lalu.
“Saya tersentuh dengan pernyataan Presiden Yudhoyono. Beliau punya ingatan yang sangat kuat menjelang ‘gencatan senjata’ dan perundingan damai pada waktu itu,” kata Gubernur Zaini kepada Atjeh Post, di Hotel Pullman Jakarta, Senin 12 November 2012.
Gubernur Zaini mengatakan, sudah dua kali ia menyampaikan kekagumannya atas ingatan tajam Presiden SBY. Pertama, ketika ia dan Wagub Muzakir Manaf diterima oleh Presiden SBY dan sejumlah menteri, di kantor Presiden, Juli 2012.
Sementara yang kedua, Zaini menyampaikan kekagumannya saat Presiden SBY pidato dalam acara Multi Donor Fund yang akan menuntup mandatnya di wilayah Indonesia, Jakarta, Senin 12 November 2012. Pidato tersebut tentang tsunami dan kaitannya dengan upaya perdamaian di Aceh.
"Tentu prihatin dan ‘touching’ (menyentuh hati) karena beliau (Presiden SBY) mengingatkan kembali apa yang terjadi dari semula. Tsunami, lalu 30 tahun konflik, dan perselisihan lalu tawaran perdamaian sebagai konsep kunci menyelesaikannya," ujar Gubernur Aceh, Zaini Abdullah ketika ditanyakan tanggapannya mengenai isi pidato Presiden SBY.
Zaini membenarkan apa yang dikatakan SBY, tentang memberikan kabar kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada waktu itu, setelah tsunami.
"Dan ya memang saya setuju semua," ujar dia.
Karenanya, kata Zaini, setelah mendapatkan kabar tersebut antara GAM dan TNI di lapangan sepakat untuk gencatan senjata (cease-fire).
"Mereka (TNI) semua turun mengangkat mayat-mayat ketika tsunami, malah TNI yang banyak bantu. Tentu mereka mendengar apa kata atasannya. Tetapi dari semula kami sudah katakan akan meletakkan senjata, dan yang paling penting adalah menolong korban (tsunami)," tutur Gubernur Zaini Abdullah.
Zaini mengatakan, seandainya musibah tsunami tidak ada tentunya proses perdamaian akan membutuhkan waktu lama. Dia mengatakan, proses perdamaian sudah berapa kali dicoba dan menemui kegagalan. Seperti pada tahun 2000, dimana GAM telah mencoba berdamai di Jenewa.
"Tetapi apa yang terjadi mungkin karena tidak ada komunikasi yang bagus antara pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka. Sehingga kolaps (gagal) perundingan itu ketika di Tokyo, 23 Mei 2003," ujarnya kepada ATJEHPOSTcom.
Dia mengatakan, sebenarnya memasuki tahun 2004-2005 pihak GAM belum berencana untuk melakukan perundingan lagi dengan Indonesia. Tapi, perundingan itu terwujud sendirinya dengan adanya musibah tsunami di Aceh.
Pada waktu itu, kata dia, Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengusulkan adanya perdamaian di Aceh. Bahkan, kata dia, GAM saat itu mendapat telepon langsung dari SBY dan JK.
"Ya tentu Presiden sebagai kepala negara, kedua-duanya, dan tentu Pak JK memberi inisiatif agar konflik bisa diselesaikan dengan perundingan."
Dia menceritakan, Jusuf Kalla sudah mencoba melacak keberadaan pimpinan GAM, dari negeri Belanda hingga ke Swedia. Hal tersebut dilakukan JK melalui anggota-anggotanya, seperti Farid Husein dan Hamid Awaluddin.
"Tetapi pada waktu itu kami belum berani karena takut sesuatu yang tidak ada kebenaran," kata Zaini Abdullah.
Selain itu, ujar Zaini Abdullah, waktu tsunami terjadi pihaknya juga dihubungi oleh Juha Christensen, anggota Aceh Monitoring Mission, dan kemudian Presiden Marti Ahtisaari.
"Jadi Juha yang beritahu ketika kami masih di Swedia. Maka saya datang bersama teman-teman ke Finlandia," kata Zaini.
Setelah melakukan pertemuan dengan Presiden Ahtisaari dan mengetahui informasi tersebut, Zaini kemudian menceritakan bahwa Wali Nanggroe GAM Hasan Tiro berpikir positif tentang usulan perdamaian tersebut. Apalagi, Aceh pada saat itu dilanda tsunami.
http://atjehpost.com

hebat : Iran Siap Bantu AS Tangani Badai Sandy

Badai Sandy yang mengamuk di AS menimbulkan banyak korban jiwa dan menghancurkan infrastruktur di wilayah pantai timur Amerika Serikat. Pemerintah Iran melalui ketua Bulan Sabit Iran menyatakan kesiapannya untuk membantu masyarakat AS.
"Bulan Sabit Iran siap memberikan bantuan kepada warga AS," kata ketua Bulan Sabit Iran, Mahmoud Mudhaffar, seprti dilaporkan Kantor Berita Fars, Rabu (31/10).
"Anggota Bulan Sabit Iran bisa membantu mereka, jika pemerintah AS menyatakan kesediannya untuk itu," ujarnya lagi.
"Mengingat kesiapan dan pengalaman luas dalam menyelamatkan badai dan korban banjir, Bulan Sabit Merah Iran siap membantu mereka yang terkena dampak topan di New York," tambahnya.
Ini bukan untuk pertama kalinya Iran menawarkan bantuan kemanusiaan ke Amerika Serikat beberapa tahun terakhir ini. Pada Juni 2010 lalu, Kementerian Luar Negeri Iran menyatakan kesiapannya membantu AS mengontrol tumpahan minyak di Teluk Meksiko.
Akibat topan Sandy, transportasi di AS terutama kereta bawah tanah dan bus-bus berhenti total. Bandara-bandara belum bisa dipastikan kapan akan dibuka kembali, mengingat saat ini masih dilanda banjir dan mengalami sejumlah kerusakan parah.
Saat ini, banyak rumah-rumah rusak parah, supply makanan untuk warga yang terisolasi di apartemen-apartemen berkurang, persedian air serta obat-obatan sulit didapat.

Kisah Ulama Indonesia Pertahankan Makam Nabi yang Hendak Digusur

PADA tahun 1924-1925, Arab Saudi dipimpin oleh Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi. Aliran ini sangat dominan di tanah Haram, sehingga aliran lain tidak diberi ruang dan gerak untuk mengerjakan mazhabnya.Semasa kepemimpinan Ibnu Saud, terjadi eksodus besar-besaran ulama dari seluruh dunia. Mereka kembali ke negara masing-masing, termasuk para pelajar Indonesia yang sedang mencari ilmu di Arab Saudi.
Aliran Wahabi yang terkenal puritan, berupaya menjaga kemurnian agara dari musyrik dan bid'ah. Maka beberapa tempat bersejarah, seperti rumah Nabi Muhammad SAW dan sahabat, termasuk makam Nabi Muhammad pun hendak dibongkar.Umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz.
Komite Hijaz ini merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah berdiri, Komite Hijaz menemui Raja Ibnu Suud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan, seperti meminta Hijaz memberikan kebebasan kepada umat Islam di Arab untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab yang mereka anut.
Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud.

Adapun lima permohonan yang disampaikan oleh Komite Hijaz, seperti ditulis di situs www.nu.or.id tersebut adalah:
Pertama, memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi̢۪i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum̢۪at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqidah maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya.
Kedua, memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah "Hanyalah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah" dan firman Nya "Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya."
Ketiga, memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji menganai tarif/ketentuan beaya yang harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan muthowwif dari mulai Jedah sampai pulang lagi ke Jedah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah.
Keempat, memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.
Kelima, Jam̢۪iyah Nahdlatul Ulama (NU) memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Komite Hijaz yang merupakan respons terhadap perkembangan dunia internasional ini menjadi faktor terpenting didirikannya oeganisasi NU. Berkat kegigihan para kiai yang tergabung dalam Komite Hijaz, aspirasi dari umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah diterima oleh raja Ibnu Saud. Makam Nabi Muhammad yang akan dibongkar pun tidak jadi dihancurkan. 

Mengapa Kemiskinan dan Pengangguran di Aceh?

Sangat menarik temuan doktor Agus_Sabti bahwa "penyebab utama miskin adalah (1) kurang kreativitas (krn kurang pengetahuan dan ketrampilan); (2) lingkar sejarah yang berasal dari keluarga miskin; (3) kurang modal; dan (4) faktor lain (sperti sakit dan cacat)". 

Coba saja faktor utama, kurangnya kreativitas (disebabkan variable antecedent pengetahuan & keterampilan), ditelaah secara akademis mestinya ditemukan lokomotif (prime mover) yang menghasilkan "budaya kreatif" warga masyarakat kita. Sejauh amatan saya (subjective understanding) institusi pendidikan (sistem nilai, struktur, dan organisasi) kita yang sudah tidak compatible (atau bahkan tidak conducive) dengan karakteristik komunitas kita. Institusi pendidikan (rasional) modern hampir seluruhnya tidak match dengan kondisi sosial-budaya kita yang masih (tradisional: afektual+emosional) konservatif. Sejauh ini kebanyakan kita merujuk pada kaidah-kaidah pendidikan dan pengajaran yang tidak memenuhi kriteria "independent, kompetitif, dan meritocracy". Umpamanya, bagaimana hubungan antara kejujuran dan kebenaran dengan capaian dalam sistem seleksi atau ujian masuk Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi, penerimaan kerja PNS, termasuk Ujian Akhir Negara (UAN), dan sebagainya.

Semua gambaran tersebut menurut hemat saya telah membawa-serta konsekuensi pada kelemahan kreativitas peserta didik, yakni masyarakat. Dengan strategi pemahaman subjektif itu saya juga memperoleh data bahwa aplikasi sistem pendidikan Perguruan Tinggi (PT) S1 dan S2 kita selama ini, setidaknya di lingkungan saya bekerja sebagai dosen, tidak banyak memberikan harapan (5-10 tahun ke depan) terhadap penanggulangan kekurangan dalam hal kreativitas lulusan PT. Jadi, kita akan menghasilkan calon-calon penganggur (intelektual) terdidik di Aceh. Industrialisasi yang merambah ke institusi pendidikan, sadar atau tidak sadar, akan memberikan imbas balik kepada kita semua dalam wujud pengangguran dan ketidak-percayaan (distrust) di antara kita, terlebih lagi para investor. Ini adalah salah satu ancaman modal sosial (social capital) kita yang berpengaruh pada modal ekonomi kita ke depan.

Untuk mengendalikan keadaan sosial ekonomi daerah kita agar tidak semakin prihatin, sebelum terlambat, kita perlu meningkatkan rasionalitas, utamanya di bidang pengelolaan pendidikan. Peran lembaga ini amatlah strategis dalam upaya menanggulangi faktor utama kemiskinan, yakni kelemahan kreativitas warga atau calon-calon pencari kerja ke depan. Kita tidak harus terperangkap lagi dengan pranata pendidikan adat-tradisional yang tidak antisipatif atas tantangan konsekuensi latent modernitas industrial. Kita mesti merubah paradigma berpikir (way of life) yang conducive bagi kesuksesan duniawi yang asketis.

Demikianlah sekelumit tanggapan terhadap faktor utama penyebab kemiskinan dan pengangguran di daerah kita. Semoga mendapat masukan kritis dan dialektis dari warga milis semua untuk masa depan Aceh yang menjanjikan. Mohon maaf jika ada kata yang tidak pada tempatnya.

Salam idul qurban, saleh sjafei
------------------------------
Re: (GreenAcehCommunity) Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?
Wednesday, November 17, 2010 10:56 PM
From:

Kemiskinan itu penyebabnya adalah multikorelasi. Tapi kalau dilihat dari potensi negeri ini penyebab utamanya lebih karena faktor non-fisik dari pada faktor fisiknya, yakni mental pejabat dan mental rakyatnya yakni kurangnya kreatifitas dalam berinovasi. Hasil penelitian saya tentang penyebab kemiskinan menunjukkan bahwa penyebab utama miskin adalah (1) kurang kreativitas (krn kurang pengetahuan dan ketrampilan); (2) lingkar sejarah yang berasal dari keluarga miskin; (3) kurang modal; dan (4) faktor lain (sperti sakit dan cacat).  
Temuan ini menunjukkan bahwa program pemerintah yang selalu mengandalkan bantuan fisik dalam mengurangi orang miskin adalah salah kaprah. Karena yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana meningkatkan kreatifitas masyarakat miskin. Misalnya membangun irigasi untuk seluruh jaringan sawah dan membangun jaringan jalan (minimal pengerasan) ke sentra produksi, di samping membangkitkan kembali gairah penyuluhan.  hal yg lebih penting lagi bagaimana pemerintah bisa menjamin pasar dan harga dari hasil pertanian rakyat. Dengan demikian tidak ada alasan petani tidak bertani karena tidak ada air, tidak ke ladang karena terlalu jauh. Dan kalau harga tinggi, petani pasti akan muncul kreatifitasnya. Ingat waktu nilam melonjak harganya, semua petani kreatif mencari informasi dan menanam nilam. syang itu tdk bertahan lama.  
Oleh sebab itu, saran kepada pemerintah, Orientasi produksi pertanian harus dirubah dari on-farm (pertanian budidaya) ke pertanian off-farm (pengolahan hasil dan pemesarannya) dan jangan suka cuma duduk di kantor atau warung kopi, tapi kerahkan semua anak buah ke lapangan sehingga mereka tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakatnya. ini tidak mustahil dan sdh dipraktekkan di Cina dan India. Mereka berhasil, semoga kita juga berhasil shg negeri ini bisa berjaya ke depan. Sayang sekali masyarakat kita miskin di tengah sumberdaya yang melimpah. Semoga bermanfaat, Agussabti.
---------------------------
2010/11/18 Adie Usman MUSA <adie.usman@gmail.com>
Kok tanya ke ekonom? Apakah memang kemiskinan itu urusannya Ekonom? Bukankan semua sektor dengan beragam profesi berkontribusi pada peningkatan/pengurangan kemiskinan? hmm...

Saleum,
============
INSTITUT GREEN ACEH (IGA)


"...the old is destroyed...time itself changes...
and upon the ruins of destruction...
flowers a new life"
(Schiller: Wilhelm Tell)

----- Original Message -----

From: HELB
Sent: Thursday, November 18, 2010 10:23 AM
Subject: (GreenAcehCommunity) Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?

Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?
Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2010 menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin ke-tujuh dalam skala nasional dengan prosentase 20,98 persen dari total 4.486.570 jiwa penduduknya. Pada satu sisi data menunjukkaan adanya penurunan angka kemiskinan sebesar 0,82 persen dibandingkan dengan data pada tahun 2009. Namun pada sisi lain, angka ini belum sepenuhnya menjadi berita gembira karena angka kemisikinan di Aceh masih berada di bawah rata-rata prosentase nasional yang berkisar pada angka 13, 33 persen.
Melihat data diatas, maka kesimpulan kita Provinsi Aceh belum mampu mengentaskan kemiskinan secara optimal, padahal provinsi ini tergolong provinsi yang paling banyak menerima bantuan, baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (OtSus), dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dana rehab-rekon, bantuan luar negeri (multidonor fund), dan dana reintegrasi. Jika diakumulasikan total dana tersebut berjumlah lebih dari 10 triliyun rupiah. Kondisi ini menjadi semakin ironis ketika Aceh termasuk daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah yang dapat dikelola untuk mengurangi angka kemiskinan diatas (Serambi, 08/11/2010)
http://salehsjafei.blogspot.com

Menuju Aceh Baru: Refleksi Dualisme Pandangan Dunia

Akhir-akhir ini ada kecenderungan cara-cara berpikir dan bersikap-tindak dalam komunitas Aceh semakin tidak memperlihatkan kerangkanya yang jelas, nyata, dan tegas (distorsi etika keseragaman). Panduan lama dalam wujud ‘moralitas’ dan ‘hukum lokal’ yang lebih menekankan pada pandangan dunia komunal (komunalisme-relijius) dengan landasan identitas sejarah dan jati-diri keAcehan sudah melemah. Pola berpikir itu hampir tidak efektif lagi sebagai schemata  legitimasi untuk mengatasi pengalaman hidup baru para agensi Aceh yang makin rasional. (Lihat Persekongkolan terorganisir secara kekeluargaan, KKN merambah ke berbagai ranah birokrasi-publik, sebagai perselingkuhan hasil distorsi itu). Kerangka panduan hidup rujukan kita sedang mengalami ancaman anomali akibat modernisasi global yang tak-terhindarkan.
[1] Sementara acuan ‘hukum’ baru dengan pandangan dunia (schemata legitimasi) individualisme-rasional belum kunjung datang sepenuhnya. (artinya, sebagian pola pikir itu sudah diterima melalui qanun-qanun Aceh dengan berbagai keterbatasan), (mungkin itu pun karena dijemput oleh agensi Aceh untuk kebutuhan akulturasi dengan arus global). (Agensi itu mencakup para subjek yang memiliki capacity dan knowledgeability termasuk elemen-elemen the iterational, the projective, dan the practical evaluative). Panduan baru itu adalah kebiasaan mutakhir para agensi masa kini yang berbasis heterogenitas dan akomodatif bagi kesadaran dan kebutuhan Aceh kontemporer. Namun demikian, terdapat clash dalam kedua world-view tersebut yang berakibat pada agensi individual.
Jika pola hidup lama didasarkan pada komunalisme-religio-magis yang terkonsolidasi dan relatif lebih tertutup (dogmatis dan ideologis), maka acuan hidup masyarakat Aceh Baru yang mungkin bisa mengatasi tegangan itu seyogianya dilandasi spirit individualisme-relijiusitas-rasional (semacam wordly asceticism) yang terorganisasi dan menjunjung keterbukaan (dan meritocracy).
[2] (konsep Individualisme di sini adalah ‘the individual’, agensi mandiri, dengan suatu identitas tersendiri; termasuk juga produk individuasi standarisasi dalam proses birokrasi, yang berbeda dari individualisme sebagai ideologi sosial dan politik dengan berbagai tradisi nasional.
Gejala perubahan berpikir komunitas Aceh lama menuju masyarakat Aceh yang baru tentu saja berkaitan dengan masalah moralitas. Sistem nilai-budaya lama mengalami tantangan moralitas okupasi masyarakat masa kini yang cenderung sekular. Hal ini untuk menunjukkan bahwa masyarakat Aceh sedang bergelimang dengan pelbagai wujud mobilitas dan kelompok okupasi sehingga proses transisi dari moralitas-kolektif menuju moralitas-individual rasional tak mungkin ditolak. 
[3] Lihat perselisihan kedua moralitas itu bergelut dalam proses pendidikan modern di mana harusnya kekuatan individu menjadi dasar strukturalnya.
Dalam proses yang demikian itu tentu terjadi perselisihan, di mana schemata struktural (moralitas normatif dan hukum positif) lebih menentukan kebutuhan para agensi masa kini. Pertanyaannya adalah bagaimana refleksi kita atas dualisme pandangan dunia, 
[4] yang mengandalkan hubungan deterministik pada keberadaan para agensi dan masyarakat Aceh baru?
Tulisan ini lebih bercorak usulan kerangka pemikiran (baik perspektif filosofis maupun paradigma sosiologis) bagi pemerhati dan praktisi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam upaya kita memberikan tempat, ruang, dan waktu bagi hubungan jalin-menjalin agensi manusia dan masyarakat Aceh. Kerangka tersebut merupakan pandang dunia mutualitas sebagai pilihan solusi untuk membangun strukturasi, corak baru pada pandangan dunia masa depan Aceh. Bangunan baru yang saling menghidupkan dan tidak mematikan melalui “moralitas dan hukum” dalam pelbagai praktik sosial kemanusiaan yang penuh tantangan.
[5 Konsep enlightenment agaknya patut dijadikan titik sentral pembangunan agensi Aceh masa depan. Metafora dasar pencerahan adalah cerah, yang diasumsikan sebagai terbitnya kejernihan pemahaman intelektual. Metafora ini berhadapan dengan kegelapan sebagai konsekuensi keabaian dan kebingungan emosional yang melekat kuat pada tatanan masyarakat lama yang tradisional (the old order). 
[6] Pada era pencerahan muncul konsensus bahwa tanggung jawab moral yang tercerahkan terdapat dalam pendidikan politik yang memberdayakan masyarakat. 
[7] Landasan pencerahan ini sangat relevan dengan kondisi struktural kita yang lebih merujuk pada kesadaran (sejarah) komunitas lama dengan keberadaan agensi manusia masa kini yang semakin progresif. 
[8] 
Proyek pencerahan lebih pada upaya untuk memperbaiki segala kebiasaan, termasuk gejala takhyul, keterbelakangan, praktik-praktik sosial dan institusi-institusi yang “memelihara” semua kebingungan (dark) itu. 
[9] Tujuan proyek adalah untuk melakukan emansipasi masyarakat dari kekangan-kekangan kuat dan prasangka-prasangka mematikan (“pengusiran non-manusiawi karena melanggar moralitas adat”), seperti “pembunuhan watak” (character assassination) dari rahim tradisi dan sistem nilai-budaya relegi peninggalan era kegelapan.
[10] Dengan “ucapan salam perpisahan” untuk “masa kegelapan” dan “rezim kuno”, sebagaimana diucapkan pemikir pencerahan, itu berarti nalar manusia telah hidup sebagai pengendali dan refleksi diri menuju arah terwujudnya suatu masyarakat yang baik (the good society).
Di penghujung abad ke-18 masyarakat dunia kembali pada ucapan terkenal seorang filosof Romawi, Horace (65 SM), yakni Sapere Aude, Dare to Know, and Have the courage to use your own understanding. Makna bebasnya, hai agensi manusia “teguhlah kamu pada hasil pemikiran sendiri”, “jangan hanya membeo”, (“jangan meniru saja perkataan orang lain tanpa memahami maksudnya”), “pakailah akal-budimu”. Itulah antara lain ungkapan pemikir pencerahan melalui tanda seru besar.[12] (Bandingkan dengan Karya sufis Jalaluddin Rumi)
Immanuel Kant (1724-1804) adalah barisan pemikir itu, dengan pernyataannya bahwa enlightenment is man’s emergence from immaturity.  
[13]  Inti pencerahan itu adalah kematangan berpikir (yang menghasilkan kebebasan dilandasi tanggung jawab untuk bertindak dengan pemahamannya sendiri), dan mampu merealisasi pemahaman hasil pemikirannya itu tanpa tergantung pada bantuan orang lain. (Betapa produktivitas kita pasca-BRR di Warkop semakin menurun secara rasional, itu pengalaman imitasi pada gaya hidup para pendatang).   
Dengan demikian, pendewasaaan diri agensi manusia menempatkan kebenaran bersinggasana pada nalar akal-budinya. 
[14] Kebenaran tidak berdiam diri pada (perkataan) mulut para “penguasa” wilayah relegi.[15] Immanuel Kant menyalahkan zamannya karena tidak mendaya-gunakan nalar untuk menjadikan manusia matang, dewasa. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pematangan diri manusia adalah pembenaman rasionalitas (akal-budi) sebagai pemandu kehidupan mereka.
[16] Jadi, pencerahan adalah ‘suatu proses di mana manusia berpartisipasi sekaligus tindak keberanian melakukan penyempurnaan diri secara personal’. 
Memang pada masa Kant terbukti orang-orang dengan berani menggunakan pemahamannya sendiri dalam menanggung batu ujian dari (kekuasaan) kebiasaan represif, prasangka mematikan, kesewenang-wenangan kekuasaan, meskipun nyawa taruhannya.
[18] Pameo “lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai” menjadi prinsip yang dijunjung tinggi masyarakat pada masa itu. Pengalaman Galileo Galilei pada abad ke-17 adalah drama paling tragis sebagai upaya penolakan tegas atas otoritas kontrol rohaniawan terhadap segala bentuk pengetahuan dan (monopoli) klaim absolut atas kebenaran duniawi. 
[19] Kerangka refleksi dualisme pandangan dunia ini diambil dari teori Strukturasi  Anthony Giddens, 1984. Ia menaruh perhatian pada masalah dualism yang menggejala dalam teori ilmu-ilmu sosial. Dualisme itu berupa Clash antara subjektivisme dan objektivisme, voluntarisme dan determinisme. Subjektivisme dan voluntarisme adalah pandang dunia yang memprioritaskan tindakan atau pengalaman individu di atas gejala keseluruhan. Sedangkan objektivisme dan determinisme merupakan kecenderungan pandangan dunia yang menekankan gejala keseluruhan di atas tindakan individual. Jadi, praktik sosial kebijakan publik di Aceh, boleh jadi, memperlihatkan bagaimana profil konstitusi masyarakat Aceh. (Kerangka acuan relasional mengandaikan perangkat berpikir analogi dan penalaran abstrak; dan karena itu patut kita kaitkan penjelasan ini dengan pelbagai tradisi para filosof dan intelektual Islam pada masa kejayaannya).
Beberapa pengalaman empirik dalam masyarakat Aceh baik secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik memperlihatkan dimensi positif (sebagaimana adanya) degradasi moralitas-kolektif dan kemunduran rasionalitas-substantif. 
[20] Hubungan sosial emansipatif, egaliter, sejajar, misalnya, yang diperagakan para pelayan publik (birokrat, administrator, pemerintah tempatan) kita di banyak organisasi pemerintahan sipil dan militer, birokrasi formal, informal, non-formal masyarakat semakin tidak dilandasi hubungan rasional (impersonal). 
[21] (Pelaku) organisasi sosial (-politik) produk Iptek modern, dan karenanya juga para administrator, apparatus, tidak menggunakan pandangan dunia (cara-cara berpikir dan bersikap-tindak) yang kondusif dengan putaran mesin birokrasi rasional yang menekankan pada hubungan impersonal, efisien dan efektif.
[22] Dalam kaitan itu, ada banyak masalah yang menimbulkan katidak-adilan, ketidak-jujuran, dan ketidak-benaran bagi masyarakat luas, utamanya oligarki kekuasaan yang merugikan banyak orang tidak mampu.
[23]  
Kondisi sosial-budaya dalam bidang pendidikan kita juga patut menjadi perhatian yang non-deterministik. Artinya, ada hubungan tidak seimbang antara kapasitas dan kompetensi para agency (guru-guru, para dosen, pengajar, dan pimpinan di berbagai institusi pendidikan) dengan perangkat sistem pembelajaran yang modern-rasional.
Pendekatan ini tidak bermaksud untuk menyederhanakan bahwa semua produk pemikiran rasional itu memiliki hubungan mutualitas dengan para subjek dalam masyarakat kita yang sedang membangun. Sebagaimana dinyatakan Ignas Kleden bahwa variabel latar belakang pengalaman dan kepentingan-kepentingan atas dasar perbedaan ras, kesukuan, dan keagamaan membuat warna demokrasi kita lebih dinamis dibandingkan pengalaman negara-negara di Eropa yang relative homogen. Oleh karena itu, ada paradoksnya bahwa pendekatan relasional mengganggap penting sejumlah kearifan lokal redefinisi dari cara-pandang komunitas lampau yang patut dijadikan modal sosial bagi para agensi (atas/besar, menengah/sedang, dan bawah/kecil) untuk membentuk kerangka acuan baru yang inspiratif dan membumi. 
[24] Pengalaman yang mencerahkan para agensi baik dari Immanuel Kant maupun Ibnu Rusyd patutlah diambil saripatinya untuk memungkinkan masyarakat Aceh generasi baru memiliki kapasitas individual dan komunal serta stock-pengetahuan lokal dan universal. Tidak semua struktur (moralitas dan hukum) masa lampau baik dari dalam maupun dari luar Aceh kadaluarsa untuk keperluan landasan masyarakat sekarang dan masa mendatang. Untuk kepentingan itu generasi lama (representasi pemimpin kenegaraan) haruslah meningkatkan relasi-bersinerji mereka dengan kaum muda (representasi agensi kemasyarakatan) secara mandiri (swadaya) dan terorganisasi (terencana) secara rasional. 
[25] Dengan andalan kerangka pikiran yang mencerahkan semua pihak, baik para pemimpin yang mewakili organisasi kemasyarakatan atau negara (sosial, budaya, ekonomi, dan politik) maupun masyarakat secara individual dan kelompok patut bersinerji. Relasi kerjasama kedua pihak untuk kepentingan pembangunan nurani kemanusiaan yang adil dan beradab, utamanya di Aceh mestinya didasarkan pada parameter kapasitas dan knowledgeabilitas yang objektif. Hanya agensi yang memiliki kedua ukuran tersebut yang mampu memberikan pengaruh yang menentukan dan berjalinan secara signifikan pada bentukan panduan berperilaku baru. Dilihat dari kekhasan Aceh secara subjektif adalah sangat mungkin titik sentral pembangunan nurani kebersamaan yang sinerji ke depan strategis dimulai dari kampus sebagai taman ilmu pengetahuan modern-rasional dan peradilan mahkamah syariah yang mencerahkan secara humanis. 
[26]Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada bagian-bagian terdahulu dapat diturunkan ke dalam beberapa simpulan berikut ini.
1.     Ketiadaan pencerahan (transformasi) yang tuntas dari perjalanan kemasyarakatan Aceh masa lalu dan masa sekarang terlihat nyata melalui dominasi dan clash panduan moralitas dan hukum yang bersifat deterministik. Sistem nilai-budaya masa lampau cenderung secara sepihak dilegitimasi para elite dan cendekiawan kita tanpa landasan keilmuan yang memadai untuk menjadi panduan masa kini yang aspiratif dan humanis. Semangat pencerahan dengan komitmen relasional demokratis dapat memungkinkan sebagai pilihan sadar untuk pembangunan masyarakat Aceh yang bermartabat. (harkat-martabat dalam wujud jujur, benar, dan adil, amanah, dan istiqamah).    
2.     Masyarakat Aceh sedang mengalami kegelisahan akan kehilangan identitas dan martabat secara ideologis(-politis) dan tak-terukur. Kegundahan itu membawa-serta konsekuensi daya pikir para agensi keacehan mengalami kemandegan dan tidak lagi berorientasi pada pencerahan akal-budi yang terorganisasi secara sadar dan didukung oleh semangat asketis yang mengglobal.
3.     Untuk menuju masyarakat yang seimbang dan demokratis dalam bingkai keAcehan baru dibutuhkan beberapa prasyarat yang lama dan pengalaman sekularisasi non-determinisme. Jalinan relasional antara schemata struktural (moralitas dan hukum) dan agensi keacehan, keduanya, akan menghasilkan acuan konsepsional yang mencerahkan secara internal (pendidikan logika, etika, dan estetika melalui berbagai institusi non-formal, informal, dan formal, utamanya Kampus Universitas di Aceh sebagai taman pengetahuan yang non-ideologis) dan eksternal (peradilan agama, Mahkamah Syari’ah yang humanis) dalam wujud referensi pandangan dunia yang rasional dan universal.
---------------------------OOOOOO----------------------


Naskah ini dipersiapkan sebagai Narasi Kebudayaan pada acara “Tafakur Kemanusiaan”, di Ballroom Hermes Palace, Banda Aceh, Jumat/31 Desember 2010. Terima kasih kepada Prof. Bahrein T. Sugihen, Ph.D. yang telah membaca dan memberi warna agensinya pada naskah ini.

Setelah belajar Hukum dan Pembangunan Masyarakat pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, penulis  meneruskan pendidkan jenjang magister dan doktoral dalam bidang sosiologi pada FISIP-UI. Saat ini yang bersangkutan adalah lektor kepala dalam bidang sosiologi hukum pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

[1] Betapa Produk hukum formal, Qanun Jinayat 2009, yang pernah mendapatkan tanggapan pro-kontra beberapa waktu lalu baik di tingkat nasional maupun dunia dianggap melanggar hak-hak asasi manusia. Lihat http://www.acehkita.com/berita/qanun-jinayat-melanggar-ham/ diakses pada 25 December 2010.

[2] Lihat berbagai diskusi untuk membedah isi Rancangan Qanun (Raqan) Tahun 2010 Tentang Wali Nanggroe sebagai salah satu panduan yang diusulkan Lembaga Legislatif Aceh. Raqan itu hampir tidak ada relasi positif antara kesadaran komunitas (bangsa) Aceh masa lampau (era Monarchi dan teokrasi) dengan keberadaan masyarakat yang heterogen masa kini. (Serambi Indonesia, 18 Desember 2010:2).

[3] Beberapa ahli ilmu sosial sepakat bahwa bentuk panduan hidup masyarakat yang menekankan pada moralitas kolektif (hati nurani bersama) cenderung lebih banyak menggunakan hukum yang menindak (represif) daripada dalam masyarakat urban (perkotaan, kosmopolitan) yang lebih sering memilih hukum yang mengganti (restetutif). Berdasarkan pengalaman sejarah perkembangan masyarakat di dunia, panduan hidup bersama (hukum) itu berevolusi dari format yang represif menuju bentuk moralitas individual yang cenderung restetutif. Bagaimanapun, hal itu tidak dapat dipilah secara tegas, dalam artian di mana ada banyak yang represif di situ hanya sedikit yang restetutif.

[4] Cara-pandang dualisme itu antara lain sebagaimana yang digagaskan oleh para ahli ilmu-ilmu sosial dari kubu strukturalisme dan fungsionalisme. Misalnya, strukturalisme Claude Levi-Strauss mengenai aplikasi analisis bahasa (perbedaan antara ‘langue’ dan ‘parole’) sebagai alat analisis gejala sosial dan kemanusiaan. Pada tataran ‘langue’ (logika internal penunjuk) dipahami secara otonom malampaui objek ditunjuk. Sedangkan fungsionalisme merujuk pada Talcott Parsons dimulai dari ‘problem of order’ sehingga dibangun suatu asumsi ‘functional pre-requsite’, setiap masyarakat harus dipenuhi beberapa pra-syarat fungsional.  

[5] Orang-orang secara individual dan kolektif (agency) itu kabanyakan mewarisi pandangan dunia (world-view) yang telah mentradisi secara turun-temurun, cara-cara berpikir, bersikap-tindak, dan berperasaan yang relatif seragam sehingga membentuk suatu solidaritas yang bersifat mekanis-seragam (dalam kesusilaan, kesopanana, dan cara beragama). Individu-individu dalam komunitas demikian hampir dapat dikatakan sebagai robot-robot yang hidup tanpa peran yang berbeda dari patron hati-nurani kolektifnya. 

[6] Kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan modern, antara lain, disebabkan melemahnya penguasaan spesialisasi keilmuan, minimnya terjemahan karya-karya ilmiah, referensi yang tidak memadai, dan syllabus pendidikan yang sudah “out of date”. Lihat Yusra Habib Abdul Gani, “Alquran di Eropa”, Opini Serambi Indonesia, 24 Desember 2010:22.

[7] Lihat Hearn, Frank. Reason and Freedom in Sociological Thought, Boston: Allen & Unwin, 1985:8-13.

[8] Meskipun keberadaan manusia individual sebagai makhluk yang mengerti dan menyadari siapa dirinya, di mana tempat hidupnya, dan bagaimana sejarahnya, namun sebagai agency mereka bergelimang dengan kondisi empirik dan berada pada tingkat substantif-mikro. Konsepsi yang demikian itu adalah hasil mutualitas individu dan struktur sosialnya yang humanis. Dalam hubungan itu akan menunjukkan suatu proposisi bahwa menjadi seorang agent haruslah mampu mensiasati dan merekayasa hidupnya. Menurut Giddens seorang individu sanggup membuktikan hakekat kemanusiaannya, menjadi dirinya sendiri yang rasional, dalam aktivitas kongkrit dan sekaligus refleksif. Lihat Giddens, The Constitution of Society, Outline of the Theory of Structuration, Polity Press, 1984. 

[9] Mungkin pelbagai bentuk bid’ah atau keyakinan yang tidak dilandasi panduan yang rasional dapat dianggap bagian dari ketidak-matangan dalam pemikiran akal-budi.

[10] Menurut Morse Peckham, pencerahan cenderung “menekankan pada kekuatan kesadaran individu dalam rangka mereka berkreasi berlandaskan pada dirinya, dengan visi yang tepat tentang order, untuk menemukan latar sejati, bagi kepekaan nilai sumber identitasnya sendiri”. Pada dasarnya, keabaian (ignorance, kedunguan) adalah sumber kegelisahan manusia di dunia. Ketika ignoransi itu mampu diatasi, maka nalar individu memperlihatkan keunggulannya, dan dunia manusia akan menjelma sebagai “firdaus” yang menyenangkan untuk dihuni.
[11] Salah satu ciri atau parameter manusia modern adalah mereka yang sudah mengalami kehidupan industrial adalah class devided society.

[12] Lihat Tarian Sufi Jalaluddin Rumi: "Jernihkan pandanganku Ya Allah, Ya Rabb; Agar aku dapat melihat wajah-Mu di barat dan di timur..." "Bangkitlah, kini bangkitlah sebagai manusia baru!" Jalaluddin Rumi Diunduhdarihttp://search.yahoo.com/search?p=Jalaluddin+Rumi%2C+bangkitlah&fr=ush-mail pada 24 Desember  2010.

[13] Individu yang berkemandirian mencerahkan (enlighted self-love), boleh jadi, adalah mereka yang memiliki kemampuan kreatif dan inovatif dalam arus modernisasi global. Individu yang dimotivasi oleh spirit (etika) tradisional (komunalisme: sistem nilai-budaya) yang diperoleh melalui relasi intra-generasi (nasihat orang tua dan kearifan lokal).

[14] Perkembangan sciences dan sosio-kultural abad ke-13 &  14 (di Barat) telah membawa-serta pengaruh pada puncak perkembangan sains, Renaisans (seni dan filsafat), dan Reformasi (agama) di Eropa abad ke-15 & 16. Ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat dari dunia Islam (dipelopori Ibn Rushd, abad ke-13) diasumsikan salah satu sumber inspirasi puncak pencerahan itu. Perdebatan serta konotasi Barat (materialisme, intelektualisme, dan individualisme) dan Timur (spiritualisme, emosionalisme, dan kolektivisme) ternyata tidak hanya berkaitan dengan kemajuan iptek dan modernitas (lihat Polemik Kebudayaan S.T. Alisyahbana dalam Daniel Dahkidae, Cendekiawan dan Kekuasaan, 2003).  
[15] Itulah tanda-tanda zaman ketika altar (mazbah, tempat mempersembahkan kurban) digusur oleh nalar manusia. Suatu zaman ketika istana sebagai pusat referensi simbolik digantikan oleh perpustakaan. Dalam perkataan lain, orang-orang tidak dapat lagi diandalkan dari apa yang mereka katakan, melainkan sudah sampai waktunya untuk melihat dan memahami rekaman apa yang telah dikerjakan orang-orang yang hendak mengatakan dirinya berhasrat untuk menjadi pemimpin atau penguasa di dunia.  

[16] Pemikiran Islam rasional (Ibn Rushd, hidup di penghujung “era keemasan Islam) yang pernah tumbuh di Barat (Maghrib) pun berseteru dengan pandangan dan perilaku kaum muslim dunia Timur (Masyrik).  Itu, antara lain, karena ulama konservatif merasa terancam dengan “ilmu-ilmu klasik” Yunani (vide Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan, 2001).  
[17] Lihat Budiman, Hikmat. Pembunuhan yang Selalu Gagal: Modernisme dan Krisis Rasionalitas Menurut Daniel Bell, Yogya: Pustaka Pelajar, 1997. Lebih jauh, Ibn Rushd adalah autonomous agent (membawa ide tentang kebenaran ganda) dengan identitas tersendiri (sebagai Averoisme, 1270), memiliki kesadaran diskursif (capability) yang memungkinkan dia merasionalisasikan keberanian ajaran dan tindakannya. Dia mampu memberikan dasar dan alasan mazhab pemikirannya dan terus mengkomunikasikannya. Dengan knowlegeability dia berani bertindak dan memahami tindakan orang lain ketika orang itu tidak mampu mengartikulasikan dasar pemikirannya secara diskursif.
[18] Di zaman pertengahan memang bidang tafsir dan pengajaran kehidupan menjadi hak istimewa agamawan yang menyebkan pemiskinan kehidupan intelektual dan sosial.
[19] Menurut Kant pencerahan adalah “keluarnya manusia dari ketidak-matangan yang diciptakannya sendiri, yakni ketidak-mampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidak-matangan itu terjadi bukan karena kurangnya daya-pikir, melainkan disebabkan kurangnya determinasi dan keberanian (individu) menggunakan pemahaman sendiri. Dalam beberapa hal, Ibn Rushd adalah model kemandirian akal-budi yang dilandasi keberanian berpikir (melawan pemikiran individu yang dikultuskan dan dilembagakan) dan bertindak untuk membebaskan manusia di dunia agar berpikir rasional tentang dirinya dan masyarakatnya.  
[20] Secara sosial termasuk gejala erosi moralitas kolektif (collective conscience) sebagai modal sosial antara lain terjadi dalam konteks kerjasama mekanis (Durkheim: mechanic solidarity), gotong royong, untuk kebutuhan komunitas tempatan. Gubernur Aceh mengajak masyarakat untuk menghidupkan budaya gotong royong adalah salah satu bentuk keprihatinan degradasi dalam solidaritas mekanis produk komunalisme-relijius komunitas Aceh akhir-akhir ini. Lihat “Gubernur Ajak Masyarakat Hidupkan Budaya Gotong Royong”, Tabloid Tabungan Aceh, Edisi 07, Agustus 2010:15.

[21] Betapa memprihatinkan keadaan mutakhir semangat keadilan, kejujuran, dan kebenaran yang pernah menjadi andalan peradaban dan kejayaan masyarakat Islam di Aceh pada masa lampau. Gejala ini untuk menunjukkan bahwa pengalaman masa lampau yang sudah menjadi bagian dari kesadaran orang-orang Aceh tidak serta-merta dapat dihadirkan untuk menjadi panduan, andalan mereka untuk menghadapi tantangan masa kini. Lihat “Salam Serambi: Rekruitmen CPNS Masih Gaya Lama” yang rentan KKN, Serambi Indonesia, 1 Desember 2010.

[22] “Kepala Daerah Memang Gampang untuk Korupsi”, Mendagri Gamawan mengungkapkan bahwa selama era reformasi 17 Gubernur dan 150 Bupati dan Walikota masuk penjara karena korupsi. Lihat Salam Serambi, Serambi Indonesia, 19 Oktober 2010. Kasus dugaan korupsi 220 M oleh Bupati dan Wakil Bupati aceh Utara masih mengancam keadilan masyarakat Aceh.  

[23] Ada banyak kasus kejahatan dan pelanggaran di bidang hukum, seperti antara lain dipublikasi dalam tajuk: Salam Serambi, “Kejaksanaan Kembali Ingin Cegah Korupsi” yang dikemukakan setiap Kepala Kejaksaan baru di Aceh. Lihat Serambi Indonesia, 24 November 2010:18.  Berbagai rahasia umum dapat diperoleh dari anggota masyarakat tentang pelanggaran moralitas dan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menimbulkan kejahatan dan pelanggaran hukum dalam masyarakat. Hal itu antara lain disebabkan kontradiksi kesadaran (hukum) komunitas dengan keberadaan (kebutuhan) mereka dalam menghadapi kemungkinan masa depan yang lebih baik.

[24] Bahwa berbagai krisis negara modern terus saja akan berlangsung, sementara kebebasan individu dan aktivitas kelompok-kelompok masyarakat akan semakin berperan untuk penciptaan kesejahteraan mereka sendiri. Menurut Thomas L. Freidman (2000) dalam A. Sudiarja menyebutkan ada tiga gelombang globalisasi yang semakin menurunkan peran Negara, utamanya di bidang ekonomi. (1) Negara modern memang masih mempunyai peran besar; namun gelombang (2) dan (3) peran negara sudah digeser oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional dan akhirnya oleh para individu (agensi).

[25] Dalam The Third Way (1998) Giddens telah menginsinuasikan pentingnya pembentukan masyarakat warga. Namun, ia masih percaya pada peran Negara, sejauh tetap dilakukan perombakan dalam relasinya dengan masyarakat. Ini untuk menunjukkan  bahwa Giddens mengusulkan pendekatan relasional yang memperhatikan kebutuhan timbale-balik antara pemimpin yang mewakili Negara dan para agensi mewakili masyarakat warga.  

[26] Menurut Eko Prasetyo, peneliti pusat studi HAM Universitas Islam Indonesia Yogayakarta, sejumlah perguruan tinggi belakangan ini ditengarai menjadi lahan subur bagi tumbuhnya gerakan mahasiswa dengan basis ideology, tidak hanya berhaluan kanan, tetapi juga yang berhaluan kiri. Melalui gerakan ideologis itu bahaya dan potensi kekerasan dengan mudah muncul disebabkan masing-masing merasa benar. Oleh karena itu,agar kampus nir-kekerasan diperlukan dukungan mengubahnya menjadi kampus sebagai taman pengetahuan. Komunitas kampus patutlah menjadi teladan di tengah masyarakat, da mampu menerima heterogenitas. Masyarakat Islam yang otentik adalah agensi kemanusiaan yang mencerdaskan, pendukung Islam yang memuaskan akal-budi, dan penganut yang menentramkan jiwa publik. Lihat “Kampus harus jadi Taman Pengetahuan”, Serambi Indonesia, 26 Desember 2010:2.  
http://salehsjafei.blogspot.com