Kota adalah tempat kita tinggal. Kota menyediakan berbagai kebutuhan kita: sandang, pangan, dan papan. Kota
sebagai sebuah fenomena ”urban” memberikan kita lingkungan sosial
budaya dan ekonomi yang sangat menentukan preferensi dan perilaku kita.
Saya lebih suka menyebut permukiman kota sebagai keseluruhan yang
meliputi kota sebagai tempat tinggal dengan lingkungan sosial ekonomi
dan budaya yang mempengaruhi.
Planner
(sebenarnya saya tidak begitu suka mendefinisikan diri saya dengan kata
itu saat ini), kota seringkali dianggap hanya sebagai hanya sebuah
”kota”. Makna ini tidak lebih luas dari yang saya sampaikan sebagai
sebuah urban. Di bangku kuliah kita berdiskusi tentang perencanaan kota
atau city planning, bukan urban planning. Saya melihat ada dua
kecenderungan yang dibawa oleh perbedaan pemahaman antara kedua istilah
tersebut. Pertama, city planning melihat kota secara analitis, dibagi
menurut komponen-komponennya: fisik geografis, tata guna lahan, sosial
ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan. Sementara itu, urban planning
memiliki makna yang dalam yang diamati secara empiris, seperti pola
kehidupan masyarakat, protes sosial, organisasi, dan pemerintahan.
Ketika
kita menerjemahkan perencanaan kota sebagai city planning, cara pandang
perencana menjadi bersifat mekanis dan analitis. Justru yang
berlangsung saat ini adalah hal yang sebutkan tersebut. Mau bukti.
Rencana kota menjadi dokumen yang dibuat oleh ”para ahli” yang memetakan
kebutuhan masyarakat atas lahan dan pengaturan ruang. Seluruhnya
disusun dengan menggunakan pedoman yang dianggap sebagai kitab suci.
Kerangka rencana dibuat menurut pedoman tersebut, tinggal isinya yang
dilengkapi. Isi yang dilengkapi tersebut disusun dengan menggunakan
metode perencanaan yang sifatnya analitis: formula yang generik
diaplikasikan untuk memproyeksikan pertumbuhan dan jumlah penduduk.
Siapa yang tidak kenal rumus-rumus ajaib, seperti: metode pertumbuhan
linier, eksponsial, bunga berganda, maupun pertumbuhan dengan batasan
sumber daya? Parameter kuantitas penduduk ini digunakan untuk
mengestimasikan kebutuhan terhadap ruang maupun komponen-komponennya,
seperti infrastruktur sampah, air bersih, sekolah, rumah sakit, dll.
Betapa
susahnya dosen saya yang saya kagumi karena memiliki pendekatan berbeda
dari kebanyakan pengajar yang lain pada mata kuliah yang sama untuk
merubah cara kerja mahasiswa calon planner yang cenderung mekanistik dan
analitis tersebut. Beliau senantiasa menekankan perencana harus ”turun
gunung” dan merumuskan rencana melalui keterlibatan langsung dengan
kegiatan-kegiatan masyarakat yang membutuhkan ruang. Hal ini tidak mudah
diterima karena memakan waktu dan untuk beberapa orang tidak mudah
untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda dari konteks budayanya.
Saya
beranggapan bahwa dokumen rencana ruang kita dibuat tebal namun kurang
sekali memiliki makna. Masih banyak pula konsep dan program ruang yang
dibuat dengan metode yang kabur dan mereduksi kenyataan di lapangan.
Parameter yang digunakan untuk menyusun program ruang masih lemah dan
kurang lengkap, tidak hanya cukup dengan pertimbangan kuantitas penduduk
seperti yang saya sampaikan di atas. Atas dasar prerogatif perencana
maupun tim teknis proyek, seringkali rencana dibuat dengan rumusan yang
hanya dapat ditemui di kepala mereka. Bahkan, kepentingan politis
sepihak seringkali dengan mudah masuk.
Berbeda
dengan standar, pedoman disusun dengan memberikan keleluasaan yang
lebih besar kepada seseorang atau dalam hal perencana untuk menggali
permasalahan di lapangan dan menyusun rekomendasi. Pedoman hanya
memberikan kerangka, bukan menetapkan urutan langkah atau hasil-hasil
yang akan dicapai. Hal ini berbeda dengan kegiatan di bidang konstruksi
bangunan dan jalan yang objeknya memiliki parameter-parameter yang dapat
dikendalikan dengan mudah. Sementara itu, objek dalam tata ruang
bukanlah ruang per se, melainkan warga kota.
Dari
pengamatan ini, saya menyarankan perencanaan kota sebagai city planning
kuranglah tepat. Kita musti bergerak ke arah perencanaan kota sebagai
urban planning yang menekankan kepada pengamatan mendalam atas fenomena
keruangan. Dalam pengertian ini, keruangan didekati secara empiris,
tidak a priori, dan mendefinisikan isu spesifik yang ditentukan di
lapangan, bukan di kepala planner. Parameter
disusun dengan kehati-hatiaan dan bersifat unik karena lokasi, konteks
sosial, dan posisi strategis dibandingkan lokasi lainnya. Produk dari
semua proses tersebut adalah rencana kota yang yang ditujukan untuk
menciptakan sebuah ”place”, bukan sekedar ruang yang di dalam rencana
direpresentasikan dengan legenda dan warna-warna.
Saya
meyebutkan pola perencanaan saat ini adalah mekanistik. Sebagai
analogi, di bidang teknologi jalan, dikenal kategori kajian: empirik,
mekanistik, dan analitik. Sampai saat ini, saya memahami teknologi jalan
di Indonesia masih diciptakan dan dikembangkan melalui metode empirik. Hal
ini dikarenakan karena para insiyur jalan kita masih sangat
berhari-hati untuk menentukan parameter-parameter untuk melangkah ke
perencanaan atau perancangan yang sifatnya mekanis dan analitis. Bukan
mereka tidak mampu, melainkan beragamnya kondisi lingkungan di Indonesia
yang menyulitkan rumusan fungsi konstruksi yang melibatkan parameter
yang teridentifikasi jelas yang sifatnya generik.
Kapan para perencana berhenti untuk berpikir mekanik – analitik dan mulai bergerak dari apa yg ada di sekitarnya?
2009 (c) Gede Budi Suprayoga
http://gedebudi.wordpress.com/