post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Kisah Darwati selama menjadi 'First Lady' Aceh

Rabu, 8 Pebruari 2012 WIT
Minggu, 5 Februari 2012, di Mesjid Raya, wanita itu tak kuasa menahan haru. Di atas podium, ia sesegukan. Air matanya menitik.Wanita itu adalah Darwati A. Gani, istri Gubernur Irwandi Yusuf. Hari itu, tiga hari menjelang masa jabatan suaminya berakhir, Darwati mengucap salam pamit dengan air mata berlinang.
Sehari sesudahnya, The Atjeh Post menghubungi Darwati dan meminta waktu untuk sebuah obrolan santai. Kenapa Darwati? Orang bilang, dibalik kesuksesan seorang lelaki, biasanya ada peran seorang wanita. Setidaknya, begitulah yang sering terdengar. Itu sebabnya, kami penasaran seperti apa peranan Darwati untuk mendukung tugas sang suami. Lagi pula, selama ini, Irwandi sering muncul di media. Sementara Darwati lebih banyak di belakang layar.
Awalnya Darwati ingin wawancaranya setelah 8 Februari, saat suaminya tidak lagi menjabat gubernur. Namun, karena kami meminta bertemu sebelum hari terakhir menjabat, Darwati setuju bertemu pada 6 Februari malam.
Pukul 20.15 wib, saya (Yuswardi A Suud) dan dan  Reza Gunawan   dari  The Atjeh Post   tiba di rumahnya di jalan Salam, Lampriet, Banda Aceh. Di mulut pintu, Darwati menyambut dengan menyunggingkan senyuman. dan menyodorkan tangan bersalaman. Malam itu, ia memadukan baju kurung warna orange dengan celana panjang dan jilbab warna hijau.
Darwati berperawakan tinggi: 170 sentimeter. Wajah ovalnya selembut tutur katanya. Malam itu, sapuan lipstik tipis menghias bibirnya. Di kelompak matanya, ada sapuan eye shadow.
"Bapak bilang yang dia suka dari saya karena cantik dan sabar," ujarnya sambil tertawa kecil ketika kami sudah duduk di sebuah meja bundar di bagian belakang rumah, tak jauh dari kolam renang kecil berhias bunga-bunga dan sebuah patung ikan lumba-lumba.
Lahir pada 7 September 1973, Darwati memang masih berusia muda: 39 tahun. Lulus dari Pendidikan Sekretaris di PDPK Unsyiah, Darwati tidak pernah merasakan dunia kerja. 
Saya pertama mengenalnya pada Mei 2003, beberapa hari setela Irwandi Yusuf ditangkap di Jakarta karena terlibat Gerakan Aceh Merdeka. Ketika itu, saya menyambangi rumahnya yang sederhana di Lingke, Banda Aceh, untuk wawancara seputar penangkapan suaminya. Namun, Darwati yang saat itu sedang hamil besar untuk anak keduanya, tak banyak bicara."Saya tidak bisa bicara sekarang. Lain kali saja ya," ujarnya sambil mengayun anaknya yang tidur di ayunan.
Tiga tahun kemudian, Irwandi terpilih sebagai Gubernur Aceh. Sebagai gubernur, seharusnya mereka menempati rumah dinas di Meuligoe Gubernur Aceh. Namun, Irwandi memilih tinggal di Lampriet. Di rumah inilah kami bertemu sembilan tahun kemudian, mengobrol dalam suasana santai ditemani secangkir kopi dan keripik pisang.
Lima tahun mendampingi Pak Irwandi sebagai Gubernur, apa saja pengalaman yang Ibu dapat?
Banyak pengalaman baru yang saya peroleh. Setelah suami saya dilantik sebagai gubernur, saya menjadi Ketua PKK, Ketua Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Aceh dan mendirikan yayasan sosial bernama Sambinoe. Yayasan ini pada awalnya adalah kami dirikan dengan uang dari kantong Pak Irwandi sendiri sebagai gubernur. Awalnya kita bisa sekitar 8 sampai 10 kali mengadakan kegiatan.
Di bidang kesehatan, kami juga punya desa binaan di Aceh Besar. Sebulan sekali anak-anak Sambinoe turun ke desa untuk melihat perkembangan kesehatan masyarakat di situ. Nah, ketika kita turun lagi sampai beberapa bulan, kualitas kesehatan masyarakat meningkat.
Di tahun 2008, kita mengadakan kegiatan bakti sosial di Aceh Besar, di Desa Maheng. Dulu kita tidak tahu kalau Maheng itu sangat jauh. Letaknya di kaki Gunung Seulawah. Tapi alhamdulillah sekarang Maheng sudah dikenal oleh masyarakat Aceh, nasional juga dikenal dan sering muncul di media bahkan internasional.
Disana, kita membuat kolam ikan, pertaniannya kita tanam jagung dan peternakan kambing. Semua itu milik masyarakat setempat. Di awal-awal kita bekerjasama dengan sebuah yayasan dari Thailand.  Di Maheng, kami juga membuat sebuah rumah kecil sebagai tempat peristirahatan dan itu juga kami pakai untuk tempat musyawarah dengan masyarakat. Kadang-kadang Bapak pun buat tempat rapat di sana karena tempatnya santai, enak dan kami sangat menyukai tempatnya. Namun setelah musibah pembakaran rumah itu kami tidak lagi menempatkan staf di sana. Walau begitu, kami tetap memantau kondisi masyarakat di Maheng. Tapi alhamdulillah sekarang masyarakat sudah lebih mandiri lah.
Selama lima tahun itu, ada tidak momentum yang paling berkesan dan masih ibu kenang sampai sekarang?
Banyak ya sebenarnya. Kami sering datang ke suatu tempat tanpa perencanaan sebelumnya. Pernah kami jalan-jalan mutar kota karena sedang suntuk, tiba-tiba aja sudah sampai di Meulaboh. Dan itu gak bawa persiapan apapun. Pakaian dan peralatan mandi kami belanja di sana untuk sekali ganti.
Kalau sudah begitu, nanti pulangnya bisa lewat Takengon. Seperti itulah, mungkin tanpa terencana ya, enak aja, karena singgah di warung-warung kecil, makan ala kadarnya yang disiapkan di warung, kadang-kadang bertemu dengan semacam tempat perkebunan masyarakat, mereka masak disitu pakai kayu, pakai ikan asin.
Nah, kadang bapak suka bilang,"ini untuk kami aja, nanti kami kasih uang kalian beli nasi lain aja, jadi kami masak yang disiapin masyarakat, ya ikan asin pakai sayur rebus tapi nikmat sekali. bertemu dengan suasana seperti itu ketakutan dan lelah hilang seketika.
Kadang-kadang orang tanya sama saya ibu kok kuat ya? ibu sanggup jalan kaki jauh, sanggup berhari-hari mengadakan bakti sosial, kunjungan ke daerah, mengapa ibu sanggup? padahal saya tidak minum vitamin, sama seperti yang lain mungkin karena melihat antusiasme masyarakat untuk menyambut kita. Jadi semangat itu bikin kita kuat lagi. Kadang-kadang dalam perjalanan dari Takengon ke Gayo Lues, kan perjalanannya melelahkan, kita di mobil sudah mual-mual mau muntah tapi ketika sampai disana ya.. luar biasa.
Dari perjalanan ke daerah, ada tidak yang meninggalkan kesan mendalam?
Banyak, salah satunya ketika saya berkunjung ke Pulau Banyak. Pulau ini letaknya 4 jam perjalanan naik fery dari Singkil dan 2 jam kalau naik speedboat.
Nah, ketika ke sana, sekitar pertengahan tahun 2011, saya terharu melihat kondisi masyarakat di sana karena mereka jarang dikunjungi pejabat. Saya disambut sepanjang jalan. Para ibu-ibu memeluk saya karena terharu. Waktu itu saya datang tanpa Bapak, karena dalam rangka kegiatan Yayasan Sambinoe. Waktu itu, saya diminta singgah di hampir semua pulau-pulau kecil yang ada penduduknya. Walaupun tidak sempat turun, karena keterbatasan waktu, masyarakatnya yang datang ke pelabuhan untuk menyambut saya. Bertemu di pelabuhan saja sudah cukup bagi mereka. Saya benar-benar terharu ketika itu.
Hal lain yang bikin saya terkenang-kenang, kadang-kadang pas saya jalan-jalan dengan Bapak, orang-orang tidak tahu bahwa itu Gubernur dan saya. Duduklah kita, makan seperti biasa. Sekali-kali pengawal bapak tanya sama masyarakat,"Bu, tau gak ini siapa?" Kan masyarakatnya tidak tahu. Begitu diberitahu saya ibu gubernur, abis itu dipeluk-peluknya kita. dipegang-pegangnya, ya Allah alhamdulillah. Intinya, ketulusan masyarakat ya, menghilangkan lelah.
Waktu ke Pulau Banyak itu pertama kali ibu kesitu?
Iya pertama kali, tahun 2011, pertengahan tahun. Saya juga baru tahu kalau di sana ada sebuah pulau yang isinya orang Kristen asal Nias. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat muslim di sana.
Apa hal lain yang Ibu lihat di Pulau Banyak?
Alamnya bagus. Sebenarnya Aceh ini dianugeri alam yang sangat indah. Insyaallah Aceh juga akan menjadi tujuan wisata nomor satu bisa mengalahkan Bali. Nah, ini bisa terpenuhi dengan dukungan semua pihak dan masyarakat itu sendiri juga. Kadang masyarakat masih menganggap tabu pariwisata, dianggap melanggar syariat islam, sebenarnya memberi pemahaman aja kepada masyarakat bahwa pariwisata disana itu bisa mendatangkan ekonomi yang lebih baik kepada masyarakat. mudah-mudahan ke depan industri pariwisata Aceh bisa lebih baik lagi.
Kalau boleh memilih, ibu lebih memilih dengan kehidupan sekarang sebagai ibu gubernur atau dengan sebagai masyarakat biasa?
Kita bisa memberikan bantuan sedikit kepada orang yang membutuhkan itu, perasaan bahagia itu lebih terasa. Walaupun yang kita berikan itu hanya sedikit, tapi sangat bermanfaat bagi orang lain dan itu luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan, kadang-kadang ibu-ibu yang saya bantu anaknya operasi bibir sumbing mungkin selama ini mereka menganggap sumbing itu pemberian Allah dan mereka pasrah aja karena mereka tinggal di pedesaan. Setelah kita operasi kalau gak sekali dua kali, mereka bisa normal sebagai manusia biasa dan orang tuanya berterimakasih kepada saya. Mereka bilang," alhamdulillah melalui bantuan dari ibu anak saya bisa normal kembali." Itu luar biasa bagi saya dan saya sangat menikmati ini.
Saya juga berjanji kepada teman-teman semuanya, Saya memang dua hari lagi sebagai ketua penggerak PKK tapi saya akan tetap berkiprah di Sambinoe dan dokter-dokter yang ikut sama saya juga mengatakan,"ibu kami akan selalu siap membantu ibu dalam membantu masyarakat walaupun ibu bukan sebagai istri gubernur lagi." Tentu saja kita akan tetap berkiprah dengan dukungan dari semua pihak.
Jadi dibanding dengan kehidupan sebelumnya ibu lebih memilih kehidupan yang sekarang?
Kehidupan menjadi masyarakat biasa juga indah ya, bisa mengurus anak-anak, kita bisa memantau perkembangan dan pertumbuhan anak, itu juga luar biasa. Terkadang saya merasa bersalah sama anak-anak karena tidak punya banyak waktu lagi buat mereka. Pernah anak saya yang kecil protes,"Mama kenapa tidak bisa ambil raport ke sekolah. Kenapa ibu-ibu lain bisa." Kalau sudah begitu saya jadi sedih, dan berusaha menjelaskan bahwa saya bukan hanya mama mereka, tetapi juga mama bagi rakyat Aceh.
Terkadang kalau sedang ada tamu, anak saya menarik-menarik ajak masuk ke kamar atau menutup mulut saya kalau sedang bicara. Tapi saya maklum saja dan menerangkan ke tamu-tamu bahwa anak saya sering saya tinggal. Kadang-kadang pada hari Sabtu dan Minggu saya jadikan hari keluarga, gak menerima tamu, gak ada pembantu. Saya masak sendiri sambil mengajari anak-anak memasak. Kadang Bapak juga suka bersih-bersih kolam. Dinikmati aja...pokoknya enjoy aja (tertawa kecil).
Ngomong-ngomong soal memasak, bapak suka dimasak makanan apa?
Bapak itu tidak rewel kalau soal makanan. Dia paling suka kalau dibuatkan nasi goreng kampung seperti buatan ibunya waktu kecil. Cukup dengan merajang bawang, cabai, sedikit minyak, lalu dimasak putih begitu saja, tanpa bumbu. Itu makanan favoritnya. Ketika bapak di penjara, setiap pagi selama 1 tahun 9 bulan saya bertugas mengantar nasi goreng.
Setiap pagi?
Iya, setiap pagi. Kalau siang saya mengantar nasi dan koran berbahasa Inggris The Jakarta Post. Sehari bisa dua-tiga kali saya bolak-balik ke penjara. 
Dalam kehidupan ibu, bagian mana yang dianggap terpenting?
Saya telah melewati banyak fase hidup. Saya pernah ditinggal suami masuk penjara, saya pernah melahirkan tanpa didampingi suami dan saya juga pernah merasakan bagaimana digulung ombak tsunami bersama anak-anak saya yang masih kecil. 
Saat Bapak di penjara, saya bertugas sebagai ibu dan bapak bagi anak-anak. Kami waktu itu benar-benar hidup prihatin. Gaji bapak sebagai dosen dihentikan, termasuk juga gaji dari salah satu organisasi internasional, juga dihentikan. Pokoknya waktu itu saya benar-benar diuji. Dan alhamdulillah, ujian-ujian itu membuat saya jadi kuat. Sekarang kalau ada masalah-masalah kecil, saya tidak terlalu ambil pusing karena sudah pernah mengalami masalah yang lebih besar. Hidup kami bergulir bergitu cepat. Saya sendiri tidak membayangkan akan menjadi istri gubernur. Ketika Bapak ikut pemilihan pun saya masih belum yakin, siapa sih yang kenal Irwandi? Namun, Allah berkehendak lain, akhirnya jadilah seperti sekarang  (mata Darwati terlihat berkaca-kaca).
Setelah habis masa jabatan ini, apa rencana ibu?
Pengennya bisa istirahat sebentar dari rutinitas. Tapi karena Bapak maju lagi (sebagai calon gubernur) ya mungkin saya akan bantu-bantu juga sebisanya. Yang pasti, kegiatan sosial di yayasan Sambinoe tetap kita jalankan.
Ibu ikut perkembangan politik Aceh sekarang?
Ya...mau tidak mau. Tapi selama ini hubungan saya dengan istri Muzakir (Manaf) tetap baik. Kadang-kadang kalau jalan berdua, dikira orang adik kakak karena sama-sama punya badan yang tinggi (tertawa kecil). Yang berpolitik itu bapak-bapak, kami kaum ibu tetap menjaga hubungan baik.
Oke. Ini soal Pak Irwandi. Ada nggak hal yang ibu tidak suka dari Bapak?
Ehm...apa ya. Bapak itu terkadang suka emosi. Tapi kalau marah biasanya tidak lama.
Termasuk dengan ibu juga?
Ya..namanya orang hidup berumah tangga, itu kan manusiawi. Tapi kalau misalnya saya ngambek, dan belum baikan, biasanya bapak tidak akan pergi kemana-mana. Dia tunggu sampai suasana normal, baru berangkat lagi. Saya dengan Bapak itu seperti air meredam api. Kadang kalau sedang ada masalah, saya yang berusaha meredamnya. Setelah itu normal lagi, ketawa-ketawa lagi...
Kami mendapat informasi ibu pernah meninggalkan sebuah rapat PKK gara-gara ditelepon bapak. Benar informasi itu?
Begini. Bapak itu terkadang memang suka egois. Dia maunya kalau pulang dari luar kota, ada saya di rumah. Tapi saat itu memang rapatnya tidak terlalu penting. Kalau rapat-rapat penting biasanya dia juga paham.
Bapak pernah cerita apa yang dia suka dari Ibu?
(terdiam sebentar) Yang pernah bapak bilang karena saya orangnya sabar dan satu lagi: cantik ha-ha-ha...
Kemarin itu waktu berpidato di Mesjid Raya ibu sempat meneteskan air mata. Apa yang ibu rasakan waktu itu?
Saya benar-benar terharu. Selama lima tahun bapak jadi gubernur, kami mendapat banyak hal baru yang begitu berkesan. Seperti saya katakan tadi, hal yang paling menyenangkan buat saya adalah ketika kita bisa berarti bagi orang lain, walaupun itu tidak seberapa.
Ada pesan yang mau ibu sampaikan untuk masyarakat Aceh?
Ya, saya mohon maaf jika selama lima tahun mendampingi bapak ada yang salah. Tapi seperti saya katakan kepada teman-teman. Saya tidak mau setelah tidak lagi menjabat hubungan jadi terputus. Tali silaturrahmi harus tetap kita jalin. Saya juga mengucapkan terima kasih atas dukungan tulus dari masyarakat Aceh untuk kami selama bapak menjabat. Selebihnya, ya, seperti yang sudah pernah saya tuliskan untuk Atjeh Post itu.
(Menjelang wawancara berakhir, sekitar pukul 21.30 wib, muncul serombongan laki-laki dari pintu belakang rumah. Mereka mengatur kursi dan duduk di pinggir kolam renang kecil di belakang rumah. Rata-rata mereka lelaki berusia muda. Jumlahnya sekitar 20-an orang. Mereka berada pada jarak sekitar 6 meter dari tempat kami mengobrol)
Mau ada acara sepertinya. Mereka pegawai di sini?
Bukan, mereka anggota tim sukses bapak. (Ketika melihat kursi yang tersedia tidak cukup, Darwati lantas meminta salah satu dari mereka mengambil kursi di lantai dua: "Cok mantong kursi di ateueh.")
Pukul sepuluh malam kami pamit meninggalkan Darwati dan tim sukses Irwandi yang melanjutkan rapat di pinggir kolam renang.[atjehpost.com]
  http://irwandi.info