SOSOK kontroversial deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ternyata
tidak hanya jadi pembicaraan semasa ia masih hidup, tetapi juga setelah
ia tiada. Bahkan, melihat kharismatiknya yang jadi buah bibir itu, ia
layak diberikan gelar pahlawan nasional.
Sejak Aceh Merdeka (AM) yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Aceh Merdeka dideklarasikan, 4 Desember 1976, nama Teungku Muhammad Hasan Di Tiro memang dikenal dunia luas. Nama “Hasan Tiro” kian jadi ‘buah bibir’ media sejak Aceh diterapkan sebagai Daerah Operasi Militer (1989-1998).
Bagi sebagian orang, nama ini seperti genderuwo—orang Aceh menyebutnya ma’op—tetapi bagi sebagian lainnya, terutama di kalangan GAM, nama Tgk. Hasan hidup sebagai spirit perjuangan sekaligus panutan. Oleh karena itu, kadang nama ini ‘dijual’ untuk kepentingan sesuatu, termasuk menjaga perdamaian.
‘Penjualan’ nama Hasan Tiro untuk suatu kepentingan tersebut diungkap oleh salah seorang penulis dalam buku “Hasan Tiro, The Unfinished Story of Aceh”. Buku setebal 308 halaman ini memuat 44 artikel sederhana yang menceritakan tentang Hasan Tiro dan perjuangannya. Ke-44 artikel tersebut ditulis oleh 44 orang, ditambah satu obituari oleh Nezar Patria dan satu artikel wawancara ekslusif Harian Serambi Indonesia bersama Prof. James P Siegel, tentang karakter Hasan Tiro.
Kendati buku terbitan Bandar Publishing ini muncul setelah Hasan Tiro meninggal dunia, beberapa artikel yang dihimpun di dalamnya merupakan catatan lama para penulis pengisi buku itu. Ada tulisan yang membicarakan Hasan masih di Amerika atau Swedia, ada pula saat kepulangannya pertama ke Aceh, Oktober 2008.
Selain itu, terdapat pula beberapa artikel yang ditulis sejumlah orang setelah deklarator GAM itu ‘pergi’ ke dunia lain. Melalui catatan kaki di beberapa tulisan dalam buku bersampul wajah Tgk. Hasan itu, dapat diketahui pula bahwa sebagian artikel sudah pernah dipublikasikan di media cetak dan online. Dengan demikian, buku ini tak lebih dari kumpulan catatan sejumlah orang dalam memandang Hasan Tiro.
Banyaknya jumlah penulis di sini menjadikan pula beragam jenis tulisan yang muncul. Ada yang menulis dalam bentuk esai/opini populer, ada dalam bentuk reportase, ada pula dalam bentuk potongan biografi sekilas, dan ada bentuk catatan pertemuan si penulis dengan Tgk. Hasan.
Cara pandang para penulis yang bervariasi melahirkan tulisan beragam tema pula. Ada yang menulis kepribadian tunggal Hasan, ada yang menulis pendapat orang lain tentang Hasan dan keluarga, ada yang menulis semacam surat kerisauan yang ditujukan entah kepada siapa, ada pula yang menulis keresahan akan perdamaian Aceh setelah Hasan tiada.
Tak diragukan lagi, kumpulan artikel dalam buku ini seakan hendak membeberkan tentang Hasan Tiro yang selama hidup hingga menjelang ajalnya selalu kontroversi. Oleh karenanya, para penulis buku ini mewakili berbagai kalangan, ada dari akademisi, jurnalis, analis politik, aktivis NGO, mantan kombatan, dan bloger.
Penulis dalam buku ini ternyata tidak semuanya orang Aceh, ada penulis dari pulau Jawa bahkan dari luar Indonesia, seperti Lilianne Fan (Bangkok, Thailand) sehingga buku ini menjadi komplit membicarakan kepribadian Hasan dari berbagai kalangan.
Bongkar Rahasia
Disadari atau tidak, kebanyakan tulisan dalam buku ini mencoba membongkar ‘rahasia Hasan’ yang selama ini jarang diketahui publik. Sebut saja di antaranya pada obituari Nezar. Secara serampangan, Nezar membeberkan kehidupan Hasan sejak masih mahasiswa di Universitas Islam Indonesia (IUU) hingga ia ke Amerika dan kembali lagi ke Aceh.
Dari sini dapat diketahui bahwa sebelumnya Hasan merupakan seorang nasionalis Indonesia. Paparan hampir sama juga terlihat pada beberapa tulisan lainnya. Akan tetapi, ada juga tulisan yang mencoba membongkar tabir kematian Hasan dengan segala polemiknya yang menerima sertifikat WNI, sehari sebelum ia menghembuskan napas terakhir.
Hal itu secara detail dikupas oleh Raihal Fajri (hlm. 95-200). Fajri mencoba membandingkan mudahnya sertifikat WNI yang diperoleh Hasan tinimbang Susi Susanti dan suaminya, Alan Budikusuma. Susanti, atlet bulu tangkis nasional yang telah mengharumkan nama Indonesia juga pernah mengajukan permohonan sertifikat WNI pada tahun 1988, tetapi baru keluar pada 1996. Semacam ada ‘permainan’ dalam pe-WNI-an Hasan, meskipun di satu sisi pemerintah mengaku tidak ada keistimewaan pada seorang Hasan Tiro.
Perlahan tapi nyata, singkat tapi jelas, itulah yang tersirat pada setiap artikel dalam buku ini. Kendati demikian, tentu saja tidak sepenuhnya sempurna. Banyaknya jumlah penulis yang melahirkan beragam anggle tetang Hasan sangat menuntut kelihaian penyunting. Misalnya, terjadi ketidakkonsistenan dalam sapaan nama mantan deklarator GAM tersebut. Beberapa tulisan menyapa dengan “Hasan”, tetapi ada juga dengan sebutan “Tiro”.
Tidak konsistennya penyunting juga terlihat dalam hal ejaan, terutama pemiringan sejumlah kata (termasuk frasa) atau kalimat. Hal paling jelas ditemukan dalam catatan tentang para penulis, ada yang dimiringkan; ada yang dibiarkan tegak; ada pula pemiringan yang keliru, misalnya untuk kata “penulis buku” dimiringkan, tetapi keterangan tentang judul buku yang seharusnya miring malah tidak dimiringkan.
Dari sisi tataletak, juga masih perlu diperbincangkan. Untuk kutipan syair atau puisi yang sudah ditulis per bait dengan ketentuan jumlah baris—misal, satu bait ada empat baris—seharusnya layouter tidak memenggal baris dalam bait tersebut apalagi hanya satu baris yang disisihkan.
Hal ini seperti pada halaman 25 dan 26. Satu baris pada bait kedua puisi yang dikutip oleh salah seorang penulis ‘tercampak’ ke halaman 26 sehingga terkesan sisih dan berdiri sendiri, sedangkan tiga baris lainnya masih di halaman 25. Kemiripan yang sama terjadi pada halaman 180, yang ungkapan salam dalam sepucuk surat Hasan ‘terasing’ pada halaman 181.
Menyunting buku yang isinya merupakan bunga rampai memang membutuhkan kejelian mendalam. Untuk itu, kehati-hatian patut jadi landasan. Namun demikian, buku ini tetap menarik dari segi isi dan tema yang diusung. Tak berlebihan jika disebutkan bahwa buku ini telah menjadi fragmen biografi perjuangan Hasan Tiro sehingga penting dibaca, terutama bagi mereka yang mau tahu ideologi GAM.
Sederhananya, para penulis di si ini berkiblat langsung pada buku fenomenal Hasan Tiro, The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro, yang merupakan buku fenomenalnya deklarator GAM itu.
Sejak Aceh Merdeka (AM) yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Aceh Merdeka dideklarasikan, 4 Desember 1976, nama Teungku Muhammad Hasan Di Tiro memang dikenal dunia luas. Nama “Hasan Tiro” kian jadi ‘buah bibir’ media sejak Aceh diterapkan sebagai Daerah Operasi Militer (1989-1998).
Bagi sebagian orang, nama ini seperti genderuwo—orang Aceh menyebutnya ma’op—tetapi bagi sebagian lainnya, terutama di kalangan GAM, nama Tgk. Hasan hidup sebagai spirit perjuangan sekaligus panutan. Oleh karena itu, kadang nama ini ‘dijual’ untuk kepentingan sesuatu, termasuk menjaga perdamaian.
‘Penjualan’ nama Hasan Tiro untuk suatu kepentingan tersebut diungkap oleh salah seorang penulis dalam buku “Hasan Tiro, The Unfinished Story of Aceh”. Buku setebal 308 halaman ini memuat 44 artikel sederhana yang menceritakan tentang Hasan Tiro dan perjuangannya. Ke-44 artikel tersebut ditulis oleh 44 orang, ditambah satu obituari oleh Nezar Patria dan satu artikel wawancara ekslusif Harian Serambi Indonesia bersama Prof. James P Siegel, tentang karakter Hasan Tiro.
Kendati buku terbitan Bandar Publishing ini muncul setelah Hasan Tiro meninggal dunia, beberapa artikel yang dihimpun di dalamnya merupakan catatan lama para penulis pengisi buku itu. Ada tulisan yang membicarakan Hasan masih di Amerika atau Swedia, ada pula saat kepulangannya pertama ke Aceh, Oktober 2008.
Selain itu, terdapat pula beberapa artikel yang ditulis sejumlah orang setelah deklarator GAM itu ‘pergi’ ke dunia lain. Melalui catatan kaki di beberapa tulisan dalam buku bersampul wajah Tgk. Hasan itu, dapat diketahui pula bahwa sebagian artikel sudah pernah dipublikasikan di media cetak dan online. Dengan demikian, buku ini tak lebih dari kumpulan catatan sejumlah orang dalam memandang Hasan Tiro.
Banyaknya jumlah penulis di sini menjadikan pula beragam jenis tulisan yang muncul. Ada yang menulis dalam bentuk esai/opini populer, ada dalam bentuk reportase, ada pula dalam bentuk potongan biografi sekilas, dan ada bentuk catatan pertemuan si penulis dengan Tgk. Hasan.
Cara pandang para penulis yang bervariasi melahirkan tulisan beragam tema pula. Ada yang menulis kepribadian tunggal Hasan, ada yang menulis pendapat orang lain tentang Hasan dan keluarga, ada yang menulis semacam surat kerisauan yang ditujukan entah kepada siapa, ada pula yang menulis keresahan akan perdamaian Aceh setelah Hasan tiada.
Tak diragukan lagi, kumpulan artikel dalam buku ini seakan hendak membeberkan tentang Hasan Tiro yang selama hidup hingga menjelang ajalnya selalu kontroversi. Oleh karenanya, para penulis buku ini mewakili berbagai kalangan, ada dari akademisi, jurnalis, analis politik, aktivis NGO, mantan kombatan, dan bloger.
Penulis dalam buku ini ternyata tidak semuanya orang Aceh, ada penulis dari pulau Jawa bahkan dari luar Indonesia, seperti Lilianne Fan (Bangkok, Thailand) sehingga buku ini menjadi komplit membicarakan kepribadian Hasan dari berbagai kalangan.
Bongkar Rahasia
Disadari atau tidak, kebanyakan tulisan dalam buku ini mencoba membongkar ‘rahasia Hasan’ yang selama ini jarang diketahui publik. Sebut saja di antaranya pada obituari Nezar. Secara serampangan, Nezar membeberkan kehidupan Hasan sejak masih mahasiswa di Universitas Islam Indonesia (IUU) hingga ia ke Amerika dan kembali lagi ke Aceh.
Dari sini dapat diketahui bahwa sebelumnya Hasan merupakan seorang nasionalis Indonesia. Paparan hampir sama juga terlihat pada beberapa tulisan lainnya. Akan tetapi, ada juga tulisan yang mencoba membongkar tabir kematian Hasan dengan segala polemiknya yang menerima sertifikat WNI, sehari sebelum ia menghembuskan napas terakhir.
Hal itu secara detail dikupas oleh Raihal Fajri (hlm. 95-200). Fajri mencoba membandingkan mudahnya sertifikat WNI yang diperoleh Hasan tinimbang Susi Susanti dan suaminya, Alan Budikusuma. Susanti, atlet bulu tangkis nasional yang telah mengharumkan nama Indonesia juga pernah mengajukan permohonan sertifikat WNI pada tahun 1988, tetapi baru keluar pada 1996. Semacam ada ‘permainan’ dalam pe-WNI-an Hasan, meskipun di satu sisi pemerintah mengaku tidak ada keistimewaan pada seorang Hasan Tiro.
Perlahan tapi nyata, singkat tapi jelas, itulah yang tersirat pada setiap artikel dalam buku ini. Kendati demikian, tentu saja tidak sepenuhnya sempurna. Banyaknya jumlah penulis yang melahirkan beragam anggle tetang Hasan sangat menuntut kelihaian penyunting. Misalnya, terjadi ketidakkonsistenan dalam sapaan nama mantan deklarator GAM tersebut. Beberapa tulisan menyapa dengan “Hasan”, tetapi ada juga dengan sebutan “Tiro”.
Tidak konsistennya penyunting juga terlihat dalam hal ejaan, terutama pemiringan sejumlah kata (termasuk frasa) atau kalimat. Hal paling jelas ditemukan dalam catatan tentang para penulis, ada yang dimiringkan; ada yang dibiarkan tegak; ada pula pemiringan yang keliru, misalnya untuk kata “penulis buku” dimiringkan, tetapi keterangan tentang judul buku yang seharusnya miring malah tidak dimiringkan.
Dari sisi tataletak, juga masih perlu diperbincangkan. Untuk kutipan syair atau puisi yang sudah ditulis per bait dengan ketentuan jumlah baris—misal, satu bait ada empat baris—seharusnya layouter tidak memenggal baris dalam bait tersebut apalagi hanya satu baris yang disisihkan.
Hal ini seperti pada halaman 25 dan 26. Satu baris pada bait kedua puisi yang dikutip oleh salah seorang penulis ‘tercampak’ ke halaman 26 sehingga terkesan sisih dan berdiri sendiri, sedangkan tiga baris lainnya masih di halaman 25. Kemiripan yang sama terjadi pada halaman 180, yang ungkapan salam dalam sepucuk surat Hasan ‘terasing’ pada halaman 181.
Menyunting buku yang isinya merupakan bunga rampai memang membutuhkan kejelian mendalam. Untuk itu, kehati-hatian patut jadi landasan. Namun demikian, buku ini tetap menarik dari segi isi dan tema yang diusung. Tak berlebihan jika disebutkan bahwa buku ini telah menjadi fragmen biografi perjuangan Hasan Tiro sehingga penting dibaca, terutama bagi mereka yang mau tahu ideologi GAM.
Sederhananya, para penulis di si ini berkiblat langsung pada buku fenomenal Hasan Tiro, The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro, yang merupakan buku fenomenalnya deklarator GAM itu.
Herman RN, peminat sastra lokal
http://atjehpost.com