EMBUN mulai menetes perlahan. Dinginnya menelisip ke pori-pori. Di
langit, bulan serupa perahu cadik dari sebalik bukit. Sesekali cahayanya
redup tertutup awan. Kurang dari lima menit, tanggal akan berganti.
Namun, lantunan kisah berbahasa Aceh masih terdengar heroik pada alat
pengeras suara.
“...umu donya tujoh ribèe thôn/ bak Adam phôn sampoe kiamat donya...” begitu secuil cuplikan yang terdengar dari atas panggung 4 x 4 meter tersebut. Di atas panggung yang dihias kain motif Aceh itu, seorang lelaki jangkung duduk di kursi. Ia membacakan nazam Aceh.
Ia kelihatan sangat semangat membawakan nazam tersebut. Sesekali kepalanya mengangguk. Tangan sebelah kanan memegang mikropon, sedangkan tangan kirinya berada di atas naskah yang ia baca, yang suatu waktu siap membolak-alik naskah tersebut.
“Itu nazam Nazam Teungku Di Cucum,” kata T.A. Sakti, dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, yang malam itu menonton pertunjukan tersebut.
Nazam Aceh itu dibawakan oleh Teungku Ismail di Masjid Babul Maghfirah Tanjong Selamat, Aceh Besar. Pada spanduk di atas pintu masuk masjid tertulis “Dalam rangka pelantikan pengurus baru remaja Masjid Babul Maghfirah dan Isra Mikraj Nabi Besar Muhammad saw. 1433 H.
Pertunjukan ini membuktikan bahwa nazam Aceh masih ada. Seni tutur satu ini belum punah di Aceh. Hanya saja, sulit sekali mendapatkan orang yang mau membacakan nazam seperti Teungku Ismail.
Cut È, demikian sapaan akrab Teungku Ismail. Ia kelahiran 1951, telah menjadi pelakon nazam Teungku Di Cucum sejak 1970-an. “Tahun lalu, Cu È membawakan nazam Teungku Di Cucum saat penutupan malam pengajian Ramadan di Sileue, Aceh Besar. Selang dua malam kemudian, nazam ini juga dibawakannya di Blang Krueng,” ujar T.A. Sakti yang nama sebenarnya Teuku Abdullah.
Nazam Teungku Di Cucum yang dibacakan oleh Cut È mengisahkan tentang kehidupan manusia, mulai dari masih berbentuk mani, lalu berubah ke menjadi janin. Dikisahkan pula keadaan ibu mengandung hingga melahirkan. Selanjutnya, dikisahkan manusia sudah menjadi bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, hingga mati.
“Menariknya, kisah yang dibawakan itu dibumbui dengan nuansa lokalitas keacehan. Kalau kita dengar dengan saksama, pengarang nazam ini seolah bisa membaca situasi kehidupan manusia akan datang,” tutur T.A. Sakti lagi.
Nazam Teungku Di Cucum yang dibacakan oleh Cut È itu dikarang pada 1270 H. Artinya, sudah seratus tahun lebih usia naskah itu dalam hitungan kalender hijiriah. Namun, Teungku Di Cucum dapat memperkirakan keadaan zaman sekarang. Misalnya saja, Teungku Di Cucum menyinggung soal perempuan yang gemar mengenakan rok pendek dan suka buka aurat. Itu adalah gambar kehidupan masa kini....
Mau tahu kelanjutan tulisan ini? Silakan lihat pada tabloid The Atjeh Times, edisi 5-11 Juli 2012.
“...umu donya tujoh ribèe thôn/ bak Adam phôn sampoe kiamat donya...” begitu secuil cuplikan yang terdengar dari atas panggung 4 x 4 meter tersebut. Di atas panggung yang dihias kain motif Aceh itu, seorang lelaki jangkung duduk di kursi. Ia membacakan nazam Aceh.
Ia kelihatan sangat semangat membawakan nazam tersebut. Sesekali kepalanya mengangguk. Tangan sebelah kanan memegang mikropon, sedangkan tangan kirinya berada di atas naskah yang ia baca, yang suatu waktu siap membolak-alik naskah tersebut.
“Itu nazam Nazam Teungku Di Cucum,” kata T.A. Sakti, dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, yang malam itu menonton pertunjukan tersebut.
Nazam Aceh itu dibawakan oleh Teungku Ismail di Masjid Babul Maghfirah Tanjong Selamat, Aceh Besar. Pada spanduk di atas pintu masuk masjid tertulis “Dalam rangka pelantikan pengurus baru remaja Masjid Babul Maghfirah dan Isra Mikraj Nabi Besar Muhammad saw. 1433 H.
Pertunjukan ini membuktikan bahwa nazam Aceh masih ada. Seni tutur satu ini belum punah di Aceh. Hanya saja, sulit sekali mendapatkan orang yang mau membacakan nazam seperti Teungku Ismail.
Cut È, demikian sapaan akrab Teungku Ismail. Ia kelahiran 1951, telah menjadi pelakon nazam Teungku Di Cucum sejak 1970-an. “Tahun lalu, Cu È membawakan nazam Teungku Di Cucum saat penutupan malam pengajian Ramadan di Sileue, Aceh Besar. Selang dua malam kemudian, nazam ini juga dibawakannya di Blang Krueng,” ujar T.A. Sakti yang nama sebenarnya Teuku Abdullah.
Nazam Teungku Di Cucum yang dibacakan oleh Cut È mengisahkan tentang kehidupan manusia, mulai dari masih berbentuk mani, lalu berubah ke menjadi janin. Dikisahkan pula keadaan ibu mengandung hingga melahirkan. Selanjutnya, dikisahkan manusia sudah menjadi bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, hingga mati.
“Menariknya, kisah yang dibawakan itu dibumbui dengan nuansa lokalitas keacehan. Kalau kita dengar dengan saksama, pengarang nazam ini seolah bisa membaca situasi kehidupan manusia akan datang,” tutur T.A. Sakti lagi.
Nazam Teungku Di Cucum yang dibacakan oleh Cut È itu dikarang pada 1270 H. Artinya, sudah seratus tahun lebih usia naskah itu dalam hitungan kalender hijiriah. Namun, Teungku Di Cucum dapat memperkirakan keadaan zaman sekarang. Misalnya saja, Teungku Di Cucum menyinggung soal perempuan yang gemar mengenakan rok pendek dan suka buka aurat. Itu adalah gambar kehidupan masa kini....
Mau tahu kelanjutan tulisan ini? Silakan lihat pada tabloid The Atjeh Times, edisi 5-11 Juli 2012.