post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Tak Lama Lagi Krueng Geukueh Akan Sesibuk Belawan

Pemerintah mencari cara mendongkrak pertumbuhan ekspor nonmigas Aceh. Pelabuhan Krueng Geukueh mendapat suntikan dana Rp 1,2 triliun. Mengapa Kepala Dinas Perdagangan Aceh menuding Pelindo tak becus mengurus pelabuhan?
_____________________________________
Sulistyawati mendapat tugas khusus. Kepala Sub Direktorat Kerja Sama Antar Lembaga Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan ini diminta menginventarisasi kendala-kendala nilai ekspor nonmigas di Aceh selama ini.
Senin pekan lalu, Sulistyawati langsung terbang ke Banda Aceh. Dia mengundang pemerintah daerah dan para pengusaha ekspor impor dalam sebuah seminar di Hotel Hermes Palace. “Ini kami lakukan agar semua kendala terserap secara komprehensif,” ujar Sulistiyawati.
Turut hadir Utomo Kayo dari Kementerian Perdagangan dan Ketua Komite Tetap SDM dan UMKM Kadin Indonesia Alizaldi. “Tujuannya satu, mencari cara agar iklim ekspor Aceh menjadi bergairah. Salah satunya memberdayakan usahawan di Aceh,” ujar Sulistiyawaati.
Tiga hari sebelumnya, pertemuan serupa digagas Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh di Hotel Sultan Banda Aceh. Dinas Perindustrian menginginkan optimalisasi Pelabuhan Krueng Geukueh di Aceh Utara.

Pertumbuhan ekspor nonmigas Aceh sebetulnya cukup membaik. Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat, total ekspor nonmigas Aceh pada Januari hingga April, tembus USD 64.135.148. Angka ini meningkat 536,79 persen dibandingkan periode sama tahun lalu, yakni USD 10.046.670.
Namun, rasio ekspor nonmigas berbanding jauh dengan total ekspor minyak dan gas (migas) Aceh yang mencapai USD 501.711.678 atau 97,96 persen dari seluruh ekspor Aceh sepanjang Januari hingga April 2012. Walaupun begitu, kontribusi migas Aceh cenderung menurun seiring berkurangnya cadangan emas hitam di perut bumi.
Penurunan nilai ekspor bukan hanya dialami Aceh. Secara nasional, total ekspor Indonesia pada Mei 2012 mengalami penurunan 8,55 persen dibanding tahun lalu. BPS mencatat, penurunan disebabkan melorotnya ekspor nonmigas 7,72 persen dan migas 11,41 persen.
Itulah sebabnya, membenahi persoalan ekspor menjadi prioritas, bukan hanya untuk Aceh, melainkan juga nasional. “Aceh masuk dalam program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2015,” kata Ketua Komite Tetap SDM dan UMKM Kadin Indonesia Alizaldi.
Lewat program ini Pemerintah Pusat menganggarkan dana Rp 1,2 triliun untuk pengembangan dan perluasan pembangunan pelabuhan umum Krueng Geukueh. Program ini direncanakan tuntas pada 2014.
***
“Lagèe rhet boh drien, trép-trép sigo troh kapai rayek keunoe (seperti musim durian, begitulah rentang waktu datangnya kapal besar kemari),” ujar Habibah, 40 tahun, Kamis pekan lalu. Ia satu-satunya pedagang di Pelabuhan Krueng Geukueh.
Habibah hanya berjualan ketika ada kapal berlabuh. Ia menawarkan buah-buahan, makanan ringan, dan rokok untuk para buruh bongkar muat pelabuhan di perbatasan Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe itu.
Kapal besar yang dimaksudnya adalah Kapal Sinar Kudus Jakarta. Sinar Kudus yang bermuatan pupuk memang sudah tiga hari menambatkan jangkar di sana. “Kami membawa 8.000 ton pupuk dari Gresik Jawa Timur,” ujar seorang Anak Buah Kapal Sinar Kudus.
Selain Sinar Kudus, siang itu ada satu kapal kecil, PAN Marine 10, bersandar di Krueng Geukueh. Namun, PAN Marine 10 hanya kapal pembawa material kebutuhan pengeboran laut milik Zaratex NV.
Sebagai warga lingkungan pelabuhan, Habibah berharap Krueng Geukueh menjadi pelabuhan internasional. “Sekarang hanya bongkar muat pupuk, beras, gula, dan semen. Itupun tidak rutin setiap bulan. Tentu tidak banyak manfaat bagi masyarakat. Setelah kapal pergi, kami kembali jadi pengangguran,” ujarnya.
Keluhan itu juga datang dari para pengusaha ekspor impor Aceh. Mereka menilai pelabuhan tak memiliki infrastruktur cukup untuk menunjang kegiatan ekspor komoditi Aceh. Usulan pendirian pelabuhan darat atau dry port untuk meningkatkan volume perdagangan hingga kini tak kunjung dijalankan. 

Relatif tingginya ongkos loading ditambah masih berlakunya larangan impor sejumlah produk, membuat para pengusaha cenderung memilih Pelabuhan Belawan sebagai alternatif ekspor komoditas nonmigas Aceh.
Hingga April 2012, komoditi Aceh seperti kopi, barang-barang dari kulit, rajutan, dan keramik yang diekspor melalui Belawan mencapai USD 6.036.420.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh Utara, Mehrapsyah, menuding PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) penyebab Krueng Geukueh lesu darah. “Mereka tak mempunyai kemampuan bisnis,” ujar Mehrapsyah.
PT Pelindo sebagai operator tunggal, kata dia, tak pernah berupaya menyiapkan pelayanan yang baik. Fasilitas pendukung seperti penambahan kren darat yang mampu mengangkat 20 fit sampai 40 fit kontainer hingga kini belum ada. “Padahal, kami sudah sarankan sejak 2010,” ujar Mehrapsyah.
Apa yang dimiliki Kreung Geukuh, kata Mehrap, hanya pelabuhan berkedalaman tujuh sampai 10 MLWS, dermaga umum, dermaga PT PIM, dermaga PT AAF, lapangan penumpukan material serbaguna seluas 25.158 meter persegi, peralatan (apung dan darat), gudang, listrik, air bersih, dan kantor.

Anggota Tim Pengembangan Ekspor Impor Pelabuhan Krueng Geukueh (TP3KG), Samsul, mengatakan bahwa optimalisasi pelabuhan Krueng Geukueh masih terbentur larangan impor dari Menteri Perdagangan. Pemerintah, kata Samsul, melarang impor sejumlah produk industri seperti pakaian dan makanan ringan, alas kaki, juga barang-barang elektronik. “Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) Nomor 57 Tahun 2010 berkontribusi mematikan ekspor impor Aceh,” ujarnya.
Kondisi ini menurutnya berlarut-larut karena PT Pelindo tidak proaktif menjemput bola. “Padahal, UUPA (Undang Undang Pemerintah Aceh) memberikan Aceh kemudahan dalam urusan perekonomian,” ujar Samsul.
PT Pelindo tak menanggapi konfirmasi The Atjeh Times. Disambangi ke kantor Pelindo I Cabang Lhokseumawe di Pelabuhan Umum Krueng Geukueh, Rabu pekan lalu, Humas Pelindo tidak ada dan kepala kantor menolak ditemui dengan alasan ada rapat.
***
Kepala Biro Ekonomi Pemerintah Aceh, T. Sofyan, mengaku telah menginventarisasi persolan ekspor Aceh ini. Menurut dia, sejumlah langkah strategis sudah dijalankan Pemerintah Aceh, salah satunya workshop optimalisasi pemanfaatan Pelabuhan Kreung Geukuh.
Upaya ini, kata dia, diharapkan dapat mendorong semangat memajukan pelabuhan-pelabuhan di Aceh. Sofyan mengakui ada begitu banyak masalah dihadapi Pemerintah Aceh dalam meningkatkan pelabuhan-pelabuhan yang ada. “Bila dipetakan dari banyaknya permasalahan, muncul dua masalah besar yang harus segera ditangani,” katanya.
Pertama, kata dia, jadwal kapal tidak jelas seperti yang terjadi di Krueng Geukueh. “Pengaruh jadwal ini mengakibatkan eksportir enggan mengekspor barang dari pelabuhan di Aceh.” Kedua, ketersediaan komoditas ekspor Aceh. “Pemilik kapal mengaku kapasitas barang yang diangkut tidak mencukupi, khususnya komoditas pertanian,” ujar Sofyan.

Pemerintah, menurut Sofyan, cenderung memilih meningkatkan ekspor melalui peningkatan komoditas unggulan, terutama sisi kualitas sehingga bisa diterima negara luar.
Sofyan mengatakan ada beberapa hasil pertanian Aceh yang bisa dijadikan komoditas unggulan ekspor untuk menghidupkan pelabuhan. Contohnya, kata dia, kopi, kakao, karet, sawit, CPO, pinang, minyak nilam, kopra, arang tempurung, arang bakau, buah-buahan dan sayur-sayuran.
“Selain itu, komoditas unggulan lain yang bisa dijadikan komoditas unggulan ekspor adalah seperti pisang, jeruk giri (jeruk bali), ikan, dan lain-lain. Jadi, memang untuk memajukan pelabuhan tersebut tidak bisa berjalan parsial,” ujar Sofyan.
Adanya bahu-membahu mendukung percepatan peningkatan pelabuhan, menurut dia, juga harus dilakukan para pelaku ekonomi di Aceh dan otoritas pelabuhan di Sumatera Utara. “Mereka juga akan diuntungkan bila pelabuhan di Aceh maju.”

Upaya lainnya, kata Sofyan, pemerintah sedang mengusahakan pembangunan dry port. Dengan adanya dry port sebagai terminal kontainer, Sofyan yakin itu bakal menjadi solusi jangka pendek mengatasi persiapan peningkatan produksi hasil pertanian Aceh. Kekurangan lain yang harus diperbaiki, menurut Sofyan, adalah peningkatan sumber daya manusia.
“Pemerintah juga mengucurkan dana subsidi untuk sejumlah pelayaran nonkomersil lainnya,” ujar Sofyan. Contohnya, kata dia, pelayaran pengangkutan penumpang KMP Roro yang dikelola PT Angkutan Sungai, Danau, dan Pelabuhan. KMP Roro berlayar di wilayah barat dan selatan Aceh.[]
Dadang Heryanto | Zulkarnaini Masry | Boy Nasruddin Agus | Murdani | Alfian O (Aceh Utara) | Irman I.P. (Aceh Utara)
 http://atjehpost.com