“Beberapa bulan ke depan, Ismuhadi Cs bisa bebas bersyarat,” begitu
judul sebuah berita di The Atjeh Post petang kemarin, Jumat, 28
September 2012. Judul itu merupakan statemen Menkumham Amir Syamsuddin.
Tentu saja statemen ini menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi
Ismuhadi dan keluarga—mungkin juga bagi Aceh—setelah sekian lama ia
‘mendekam’ di terali besi Pulau Jawa.
Kebahagiaan itu sebenarnya sudah terlihat sejak pemerintah mengizinkan
Ismuhadi Cs pindah dari penjara Cipinang, Jakarta, ke rumah tahanan
Lambaro, Aceh Besar, 11 September lalu. “Adoe, 11 September kamoe ka na di Bandara SIM, Insyaallah...” begitu sepetik ucapan Ismuhadi, beberapa hari menjelang ia pulang ke nanggroe.
Hari yang disebutkan pun tiba. Meski tidak berhasil masuk dalam
rombongan penyambutan suka cita kepulangan “tiga pejuang” itu ke
pangkuan poma bernama Aceh, saya tetap gembira. Paling tidak, dari ruang
tunggu lantai dua Bandara Sultan Iskandar Muda, saya leluasa mengamati
ketiganya. Mereka turuni tangga pintu pesawat setelah penumpang lainnya
turun.
Lelaki berbadan tinggi itu turun dari tangga pintu Lion Air JT 0307.
Ketiganya mengenakan batik. Dari tiga orang itu, dua pakai batik orange
dan seorang lagi batik biru bermotif “Pinto Aceh”. Yang berbatik biru
itulah Ismuhadi.
Sudah rahasia umum, mereka menjadi narapidana politik (Napol) sejak
tahun 2000 atas tuduhan pengeboman kantor Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada
13 September 2000. Lebih kurang 12 tahun ketiganya dikurung di penjara
Pulau Jawa. Karenanya, begitu menjejaki tanoh Aceh di Bandara SIM, wajah
mereka berseri-seri.
Langkah kedua menginjakkan kaki di tanah Bandara SIM, Ismuhadi langsung
menjatuhkan lututnya ke tanah. Ia mencium “Tanoh Pusaka” seolah sedang
bersujud di kaki “poma”. Ketiganya pun lalu meneriakkan takbir
“Allahuakbar”.
Dari ruang tuggu lantai dua bandara itu, saya lihat mereka dirangkul
banyak orang, sahabat dan para saudara yang menyambut kepulangan
ketiganya. Hadir dalam penyambutan itu, Malik Mahmud, Muzakir Manaf, dan
beberapa petinggi Partai Aceh lainnya.
Di depan pintu masuk bandara, puluhan mahasiswa sudah menanti pula.
Mereka telah menyiapkan dendang “Panglima Prang” menyambut kedatangan
“Panglima Aceh” itu. “Panglima prang deuh panglima prang ka troh geuwo. Ngon raja nanggroe ngon raja nanggroe hate lam suka,” begitu sepetik syair tersebut menggema mengikuti langkah gontai Ismuhadi.
Seperti diberitakan banyak media, Ismuhadi merupakan satu dari sekian
orang yang dulu berjuang di Jakarta. Ia yang memotori demo akbar di
Jakarta, menuntut hak-hak Aceh dari Pusat. Namun, ledakan di kantor BEJ
membuat Ismuhadi dan dua temannya itu harus menjalani hukuman seumur
hidup di penjara Cipinang.
Hukuman seumur hidup didasari beberapa alasan. Di antaranya, ketika itu
Ismuhadi sempat berkilah bahwa ia bukan bagian dari Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Pemerintah kemudian menuduhnya sebagai teoris. Karena
itu, selepas kesepahaman damai 15 Agustus 2005, saat banyak tahanan GAM
yang diberikan remisi oleh pemerinta, Ismuhadi Cs tetap di penjara.
Pengakuan “bukan GAM” membuat ia sulit dibebaskan.
Di sisi lain, semua orang tahu bahwa Ismuhadi melakukan gerakan di
Jakarta saat itu atas nama Aceh. Ia juga sempat ‘menyembunyikan’
beberapa orang GAM demi keselamatan para pejuang GAM tersebut di
Jakarta. Namun, karena mengaku menjadi GAM saat itu adalah sebuah “dosa”
di mata pemerintah, Ismuhadi dalam vonisnya menolak disebut sebagai
GAM. Tuduhan teroris pun disematkan kepadanya.
Sebenarnya, tidak mengaku GAM masa itu hanya sebagai jalan agar dapat
terbebas dari hukuman. Di sisi lain, Ismuhadi telah menyelamatkan
lembaga GAM tatkala ia tidak mengaku bagian dari GAM. GAM berhutang budi
pada Ismuhadi.
Akhirnya, dalam terali besi Cipinang, Teungku Imuhadi Jafar, Ibrahim
Hasan, dan Irwan bin Ilyas menyambung hidup, kendati banyak teman-teman
seperjuangannya telah dapat menghirup udara lepas. Lebih kurang 12 tahun
mereka dalam “pesantren” Cipinang tersebut. Istilah “pesantren” ini
saya kutip dari Ismuhadi langsung.
“Lam ‘pesantren’ nyoekeuh kamoe, Adoe,” kata Ismuhadi, suatu kali di tahun 2011, saat saya berkesempatan mengunjunginya.
Dalam bincang-bincang ringan kami pada taman dalam penjara Kelas I
Cipinang, waktu itu, Ismuhadi mengaku sangat rindu Aceh. Sangat rindu
anak dan keluarga. Saat itu, kami sama-sama berdoa agar tahun depannya
ia dapat pulang ke Aceh.
“Tahun ini saya menjenguk Adun. Semoga tahun depan Adun yang pulang
kampung. Kita jumpa di kampung sambil menikmati segelas kopi tentunya,”
kata saya saat itu yang kami sambut gelak tawa. Tentunya, dalam hati,
kami berdoa semoga itu terwujud.
Benar yang kami janjikan masa itu. Tahun 2012 ini, setahun setelah
pertemuan kami di Cipinang, Ismuhadi dan kawan-kawan sudah diberikan
pulang. Walau belum diberikan kesempatan bebas untuk menikmati kopi
seperti janji kala itu, ucapan syukur tetap menjadi sebuah keniscayaan.
Melihat sikap dan sifatnya di “Pesantren Cipinang”, saya yakin ia tidak
lama lagi dibebaskan, kecuali ada permainan politik baru di Aceh.
Bukankah sudah ada beberapa statemen pembesar pemerintah mengatakan
Ismuhadi berperangai baik? Ini menandakan bahwa ‘bunga-bunga’ kebebasan
itu sudah tercium.
Secara sikap, Ismuhadi pantas mendapat nilai A selama di “Pesantren
Cipinang”. Ia kerap menjadi contoh bagi napi lainnya. Taman kelas I
penjara Cipinang kini menjadi indah, dengan tanaman beberapa jenis
tumbuhan dan bunga di dalamnya. Itu adalah satu dari sekian kenangan
yang ditinggalkan Ismuhadi di rumah tahanan tersebut. Di taman itu, kini
sudah ada kolam kecil, yang airnya mengalir cantik. Juga ada campur
tangan Ismuhadi di sana. Ia menanam pohon sebagai penghijauan di penjara
itu.
Sikap baik Ismuhadi dan teman-temannya ini pula yang mengubah status
mereka dari Tapol menjadi Napol. “Berdasarkan Kepres nomor 24 tahun
2012, tanggal 13 Agustus 2012, status kami menjadi Napol,” ujar Ismuhadi
singkat.
Ketika pulang ke Aceh, Ismuhadi disambut meriah. Baru kali ini, saya
melihat seorang rakyat biasa yang masih berstatus tahanan, saat
dipindahkan lokasi, diberi sambutan meriah dengan berbagai nyanyi dan
tarian. Ditepungtawari pula oleh pemerintah. Betapa pula kelak ia
benar-benar dibebaskan.
Ismuhadi memang adalah salah satu figur di Aceh. Demikian, Teungku!
Kami tunggu dirimu dengan segelas kopi di bawah pohon geulumpang seperti
janji kita dulu dalam sebuah bait puisi syahdu.