DALAM artikel singkat ini, saya tertarik untuk membahas Qanun Nomor 8
Tahun 2012 tentang Wali Nanggroe, yang telah disahkan oleh Gubernur Aceh
pada 19 November 2012 lalu. Tanpa bermaksud untuk mencampuri persoalan
pro dan kontra mengenai qanun ini, ada baiknya kita telaah isi Qanun
yang berjumlah 134 pasal. Sepintas qanun ini sebenarnya ingin mengatakan
bahwa Wali Nanggroe merupakan pemimpin tertinggi di Aceh dalam bidang
adat. Namun begitu membuka lembaran daftar Wali Nanggroe yang muncul
adalah nama ulama yang memimpin peperangan melawan Belanda, kecuali Wali
Nanggroe ke-9. Mereka sama sekali tidak pernah berfungsi sebagaimana
isi qanun ini yaitu pemimpin tertinggi di dalam adat.
Namun jika ditelisik secara mendalam, pasal demi pasal di dalam Qanun ini hanya ingin mempertegas posisi Malik Mahmud di dalam Pasal 132 ayat 6. Demikian pula, aturan menjadi Wali Nanggroe selama 7 tahun pun tidak sama durasinya dengan nama-nama Wali Nanggroe sebelumnya, dimana ada yang memangku selama 7, 4, 2, 3, 5, 5 bulan, dan 30 tahun. Adapun persoalan lainnya adalah aturan yang berisi puluhan pasal sebelum Pasal 132, sama sekali tidak berlaku bagi Wali Nanggroe ke-9. Inilah persoalan yang cukup krusial, mengingat MoU Helsinki adalah mandat untuk rakyat Aceh, namun aturan di qanun ini berlaku secara komprehensif 7 tahun mendatang (2019). Maksudnya, Aceh akan memiliki Wali Nanggroe versi isi qanun tersebut pada 2019 nanti.
Masih perlu dikaji
Demikian pula, pola pemilihan Wali Nanggroe nantinya sama sekali tidak dipilih oleh rakyat, melainkan oleh Komisi Pemilihan Wali Nanggroe (Pasal 70). Padahal lembaga ini adalah lembaga adat, namun dalam pasal ini tidak ada mekanisme keterlibatan masyarakat adat di dalam pemilihan Wali Nanggroe pada 2019 nanti. Demikian pula, persoalan Pasal 17 ayat 4-5, di mana seolah-olah Wali Nanggroe memiliki kekebalan hukum. Dan, hanya DPRA yang berhak mengeluarkan persetujuan tertulis, jika Wali Nanggroe melanggar hukum. Tentu saja, nalar ini masih perlu dikaji secara mendalam, karena pada 2019 nanti, boleh jadi komposisi DPRA akan berbeda dengan hari ini.
Qanun ini pada prinsipnya ingin meneruskan nafas MoU Helsinki, namun menetapkan Wali Nanggroe seolah-olah seperti pemimpin spiritual di Iran. Akan tetapi, isi qanun ini seakan-akan ingin menyatakan bahwa Wali Nanggroe adalah “pemerintah bayangan” di Aceh yang berfungsi bak Presiden. Karena itu, di sekeliling Wali Nanggroe wujud berbagai Majelis yang mirip seperti kabinet dan memiliki menteri koordinator. Jika seperti ini fungsinya, adalah lebih baik jika Wali Nanggroe bukan sebagai pemimpin adat, melainkan berfungsi seperti “presiden Aceh” yang memiliki protokoler dan dana dari pemerintah.
Jika ini tujuannya, lebih baik qanun diteruskan dengan pembagian kabupaten yang berfungsi seperti “provinsi.” Dengan kata lain, fungsi “panglima wilayah” dan “panglima sagoe” akan mirip dengan fungsi Pangdam dan Kodim dalam struktur jabatan di militer. Secara tersirat, fungsi ini sebenarnya telah berjalan selama beberapa tahun terakhir. Dengan begitu, pajak nanggroe dapat dilegalkan melalui qanun lain untuk menopang kekuasaan Wali Nanggroe dan hubungannya dengan panglima wilayah, serta model pengutipan pajak nanggroe. Adapun turunan qanun ini dapat diteruskan dari Pasal 47, yaitu fungsi bentara. Adapun mengenai hal pajak nanggroe dapat ditarik dari Pasal 128 ayat 1, poin c yaitu “sumber lainnya yang sah”.
Jadi, di Aceh akan muncul dua model kekuasaan, yaitu kekuasaan yang berasal dari Jakarta, berwujud Gubernur dan kekuasaan model MoU Helsinki yang berwujud Lembaga Wali Nanggroe. Kedua model ini pada prinsipnya tidak ditemukan rujukannya dalam sejarah pemerintahan Aceh tempoe doeloe. Saat ini, sistem kendali pemerintahan Aceh memakai sistem kekeluargaan dan sistem jamaah. Karena itu, Lembaga Wali Nanggroe, tidak akan bertolak belakang dengan legislatif dan eksekutif. Namun, sulit membayangkan nantinya pada 2019, jika Aceh tidak memiliki “sistem kekeluargaan” dan “sistem jamaah” di dalam menjalankan fungsi eksekutif dan legislatif seperti hari ini.
Sebelum dan paska-MoU Helsinki, telah berkembang dua paradigma yaitu dari “tidak setuju, dibunuh” ke “tidak setuju, dipecat.” Paradigma pertama telah muncul sejak era konflik. Siapa pun yang “tidak setuju” telah “disekolahkan “. Mayat rakyat Aceh yang tidak berdosa bergelimpangan di seluruh penjuru bumi Serambi Mekkah. Namun setelah 2005, fenomena ini berkembang menjadi ketika “tidak setuju”, sudah pasti “dipecat.” Begitulah kekuatan sistem jamaah yang telah menjelma di balik Qanun Wali Nanggroe lahir. Isi pasal tumpang tindih dengan peraturan lain dan ketidaksinambungan historis merupakan hal yang biasa untuk ditabrak oleh pembuat qanun ini, asalkan MoU Helsinki bisa diselamatkan.
Muncul paradigma baru
Dalam konteks inilah, Qanun Wali Nanggroe lahir, yaitu setelah terjadi proses “bunuh” dan “pecat.” Sekarang muncul paradigma baru yaitu “tidak setuju, protes.” Bagi yang “protes” akan berhadapan dengan MoU Helsinki yang telah “dikeramatkan.” Fenomena “bunuh,” “pecat,” dan “protes” juga telah menjadi budaya baru sebelum dan paska-damai. Dengan kata lain, damai hanya untuk GAM dan TNI, bukan bagi yang “dibunuh”, “dipecat”, dan “protes”. Sistem berpikir inilah yang menjiawai nafas Qanun Wali Nanggroe, di mana ingin membangun paradigma bahwa “kami telah berhasil menguasai Aceh.” Kalau anda “protes” maka proteslah MoU Helsinki.
Karena sistem jamaah yang digunakan di dalam merumuskan Qanun Nomor 8 Tahun 2012, maka siapa pun yang “protes” tidak akan didengarkan, baik oleh pihak legislatif maupun eksekutif. Ketika ruang itu tertutup, maka rakyat sama sekali berada di luar qanun tersebut. Karena dalam “sistem jamaah” hanya yang setuju yang bisa masuk di dalam barisan tersebut. Kalau “protes” maka proteslah ke pihak luar negeri yang mendatangkan MoU Helsinki ke Kutaraja. Cuaca politik ini akan terus bertahan, hingga hari pelantikan Wali Nanggroe ke-9.
Pertanyaannya adalah apakah rakyat akan melakukan pesta atau kenduri ketika mereka memiliki Wali Nanggroe hari ini? Selain isi qanun yang masih bermasalah, fenomena “menutup telinga” adalah jawaban bagaimana “protes” tentang qanun ini sama sekali tidak menjadi perhatian serius di kalangan eksekutif dan legislatif. Karena itu, sangat wajar jika nanti kemana pun Wali Nanggroe berkeliling akan “dinanti” oleh rakyat. Mereka akan berkata: “Anda Wali kami, silahkan anda datang ke kampung kami!”
Sekali lagi, artikel ini bukan ingin menggugat Qanun Wali Nanggroe, namun menggugah hati nurani pembuat qanun tersebut, supaya tidak menjadikan hasrat mereka sebagai “bom waktu” bagi masyarakat Aceh. Rakyat sudah 30 tahun lebih memendam perasaaan bahwa “anda yang menikmati kekuasaan” mengapa “kami yang harus menderita”? Inilah falsafah dan spirit mengapa qanun ini belum diterima oleh rakyat Aceh. Karena rakyat Aceh di kampung-kampung tidak pernah memulai perang, tidak pernah terlibat di dalam proses perdamaian, dan juga masih belum menikmati “hasil” damai hari ini. Jadi, Qanun Wali Nanggroe ini sebenarnya hanya untuk jamaah (baca: kelompok), bukan untuk umat (baca: rakyat).
Namun jika ditelisik secara mendalam, pasal demi pasal di dalam Qanun ini hanya ingin mempertegas posisi Malik Mahmud di dalam Pasal 132 ayat 6. Demikian pula, aturan menjadi Wali Nanggroe selama 7 tahun pun tidak sama durasinya dengan nama-nama Wali Nanggroe sebelumnya, dimana ada yang memangku selama 7, 4, 2, 3, 5, 5 bulan, dan 30 tahun. Adapun persoalan lainnya adalah aturan yang berisi puluhan pasal sebelum Pasal 132, sama sekali tidak berlaku bagi Wali Nanggroe ke-9. Inilah persoalan yang cukup krusial, mengingat MoU Helsinki adalah mandat untuk rakyat Aceh, namun aturan di qanun ini berlaku secara komprehensif 7 tahun mendatang (2019). Maksudnya, Aceh akan memiliki Wali Nanggroe versi isi qanun tersebut pada 2019 nanti.
Masih perlu dikaji
Demikian pula, pola pemilihan Wali Nanggroe nantinya sama sekali tidak dipilih oleh rakyat, melainkan oleh Komisi Pemilihan Wali Nanggroe (Pasal 70). Padahal lembaga ini adalah lembaga adat, namun dalam pasal ini tidak ada mekanisme keterlibatan masyarakat adat di dalam pemilihan Wali Nanggroe pada 2019 nanti. Demikian pula, persoalan Pasal 17 ayat 4-5, di mana seolah-olah Wali Nanggroe memiliki kekebalan hukum. Dan, hanya DPRA yang berhak mengeluarkan persetujuan tertulis, jika Wali Nanggroe melanggar hukum. Tentu saja, nalar ini masih perlu dikaji secara mendalam, karena pada 2019 nanti, boleh jadi komposisi DPRA akan berbeda dengan hari ini.
Qanun ini pada prinsipnya ingin meneruskan nafas MoU Helsinki, namun menetapkan Wali Nanggroe seolah-olah seperti pemimpin spiritual di Iran. Akan tetapi, isi qanun ini seakan-akan ingin menyatakan bahwa Wali Nanggroe adalah “pemerintah bayangan” di Aceh yang berfungsi bak Presiden. Karena itu, di sekeliling Wali Nanggroe wujud berbagai Majelis yang mirip seperti kabinet dan memiliki menteri koordinator. Jika seperti ini fungsinya, adalah lebih baik jika Wali Nanggroe bukan sebagai pemimpin adat, melainkan berfungsi seperti “presiden Aceh” yang memiliki protokoler dan dana dari pemerintah.
Jika ini tujuannya, lebih baik qanun diteruskan dengan pembagian kabupaten yang berfungsi seperti “provinsi.” Dengan kata lain, fungsi “panglima wilayah” dan “panglima sagoe” akan mirip dengan fungsi Pangdam dan Kodim dalam struktur jabatan di militer. Secara tersirat, fungsi ini sebenarnya telah berjalan selama beberapa tahun terakhir. Dengan begitu, pajak nanggroe dapat dilegalkan melalui qanun lain untuk menopang kekuasaan Wali Nanggroe dan hubungannya dengan panglima wilayah, serta model pengutipan pajak nanggroe. Adapun turunan qanun ini dapat diteruskan dari Pasal 47, yaitu fungsi bentara. Adapun mengenai hal pajak nanggroe dapat ditarik dari Pasal 128 ayat 1, poin c yaitu “sumber lainnya yang sah”.
Jadi, di Aceh akan muncul dua model kekuasaan, yaitu kekuasaan yang berasal dari Jakarta, berwujud Gubernur dan kekuasaan model MoU Helsinki yang berwujud Lembaga Wali Nanggroe. Kedua model ini pada prinsipnya tidak ditemukan rujukannya dalam sejarah pemerintahan Aceh tempoe doeloe. Saat ini, sistem kendali pemerintahan Aceh memakai sistem kekeluargaan dan sistem jamaah. Karena itu, Lembaga Wali Nanggroe, tidak akan bertolak belakang dengan legislatif dan eksekutif. Namun, sulit membayangkan nantinya pada 2019, jika Aceh tidak memiliki “sistem kekeluargaan” dan “sistem jamaah” di dalam menjalankan fungsi eksekutif dan legislatif seperti hari ini.
Sebelum dan paska-MoU Helsinki, telah berkembang dua paradigma yaitu dari “tidak setuju, dibunuh” ke “tidak setuju, dipecat.” Paradigma pertama telah muncul sejak era konflik. Siapa pun yang “tidak setuju” telah “disekolahkan “. Mayat rakyat Aceh yang tidak berdosa bergelimpangan di seluruh penjuru bumi Serambi Mekkah. Namun setelah 2005, fenomena ini berkembang menjadi ketika “tidak setuju”, sudah pasti “dipecat.” Begitulah kekuatan sistem jamaah yang telah menjelma di balik Qanun Wali Nanggroe lahir. Isi pasal tumpang tindih dengan peraturan lain dan ketidaksinambungan historis merupakan hal yang biasa untuk ditabrak oleh pembuat qanun ini, asalkan MoU Helsinki bisa diselamatkan.
Muncul paradigma baru
Dalam konteks inilah, Qanun Wali Nanggroe lahir, yaitu setelah terjadi proses “bunuh” dan “pecat.” Sekarang muncul paradigma baru yaitu “tidak setuju, protes.” Bagi yang “protes” akan berhadapan dengan MoU Helsinki yang telah “dikeramatkan.” Fenomena “bunuh,” “pecat,” dan “protes” juga telah menjadi budaya baru sebelum dan paska-damai. Dengan kata lain, damai hanya untuk GAM dan TNI, bukan bagi yang “dibunuh”, “dipecat”, dan “protes”. Sistem berpikir inilah yang menjiawai nafas Qanun Wali Nanggroe, di mana ingin membangun paradigma bahwa “kami telah berhasil menguasai Aceh.” Kalau anda “protes” maka proteslah MoU Helsinki.
Karena sistem jamaah yang digunakan di dalam merumuskan Qanun Nomor 8 Tahun 2012, maka siapa pun yang “protes” tidak akan didengarkan, baik oleh pihak legislatif maupun eksekutif. Ketika ruang itu tertutup, maka rakyat sama sekali berada di luar qanun tersebut. Karena dalam “sistem jamaah” hanya yang setuju yang bisa masuk di dalam barisan tersebut. Kalau “protes” maka proteslah ke pihak luar negeri yang mendatangkan MoU Helsinki ke Kutaraja. Cuaca politik ini akan terus bertahan, hingga hari pelantikan Wali Nanggroe ke-9.
Pertanyaannya adalah apakah rakyat akan melakukan pesta atau kenduri ketika mereka memiliki Wali Nanggroe hari ini? Selain isi qanun yang masih bermasalah, fenomena “menutup telinga” adalah jawaban bagaimana “protes” tentang qanun ini sama sekali tidak menjadi perhatian serius di kalangan eksekutif dan legislatif. Karena itu, sangat wajar jika nanti kemana pun Wali Nanggroe berkeliling akan “dinanti” oleh rakyat. Mereka akan berkata: “Anda Wali kami, silahkan anda datang ke kampung kami!”
Sekali lagi, artikel ini bukan ingin menggugat Qanun Wali Nanggroe, namun menggugah hati nurani pembuat qanun tersebut, supaya tidak menjadikan hasrat mereka sebagai “bom waktu” bagi masyarakat Aceh. Rakyat sudah 30 tahun lebih memendam perasaaan bahwa “anda yang menikmati kekuasaan” mengapa “kami yang harus menderita”? Inilah falsafah dan spirit mengapa qanun ini belum diterima oleh rakyat Aceh. Karena rakyat Aceh di kampung-kampung tidak pernah memulai perang, tidak pernah terlibat di dalam proses perdamaian, dan juga masih belum menikmati “hasil” damai hari ini. Jadi, Qanun Wali Nanggroe ini sebenarnya hanya untuk jamaah (baca: kelompok), bukan untuk umat (baca: rakyat).
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Ph.D
- Dosen Jurusan Jinayah wa Siyasah, Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh
- Research Fellow The Aceh Institute
http://www.acehinfo.com/