Senin, 20 Februari 2012 13:38 WIB
SYARDANI M. SYARIF
Jika pembentukan Partai Lokal Baru bukan sekedar "peusak hop" dan
gertak politik untuk keperluan merawat konstituen di ajang Pilkada 2012
agar tidak berlarian ke kubu lain, akankah sanggup melawan Partai Aceh
(PA)?
Dari berita berbagai media, terkabarkan bahwa pada Kamis, 16 Februari
2012, Irwandi Yusuf dan Sofyan Dawod bersama sejumlah mantan panglima
GAM mengadakan pertemuan di hotel Hermes Palace Banda Aceh dan telah
memutuskan untuk membentuk partai lokal baru di Aceh.
Masih menurut media, disebutkan ada 12 nama mantan panglima GAM yang
mendukung Irwandi-Muhyan sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur Aceh ke
depan juga ikut mendukung ide pembentukan Partai Lokal Baru.
Meski tidak ada yang luar biasa dari barisan pendukung yang ada namun
ada dua hal yang menarik perhatian, yaitu; munculnya nama Saiful Cagee
dan Abu Sanusi. Cagee kita ketahui bersama telah almarhum, sedangkan Abu
Sanusi telah membantahnya. Lewat Syahrul, Ketua PA Aceh Timur, Abu
Sanusi bilang, "saya tak pernah dihubungi. Itu politik. Saya tak tahu
menahu hal tersebut.” Apakah ini disengaja atau sebuah keteledoran
karena gabuek dan tidak teliti? Wallahualam.
Kembali ke ide pembentukan partai lokal baru. Menarik untuk mengulas
beberapa hal, yakni semangat pembentukan partai untuk melawan atau
bersaing dengan PA, klaim awal bahwa partai lokal baru lebih baik dari
partai nasional, hasrat untuk menyelamatkan MoU Helsinki karena PA
ibarat perahu bocor, dan partai lokal baru yang tidak akan menerima
orang-orang PA. Sebuah pernyataan yang kelihatan bagus untuk ilustrasi
namun akan segera terkesan dangkal dari sisi logika politik.
Betapa tidak, secara logika, pernyataan yang disampaikan Sofyan Dawod
itu, sebagaimana bisa dibaca di media, secara langsung berpotensi
menciptakan rasa permusuhan dengan PA dan juga dengan semua partai
nasional. Ketika telah bermusuhan dengan partai, artinya telah
bermusuhan dengan pendukungnya dan juga telah menciptakan musuh masa
depan bagi mereka sendiri.
Jika niatnya ingin melawan PA, Sofyan Dawod seharusnya mengajak dan
merangkul semua partai lain selain PA, baik partai lokal maupun partai
nasional untuk bergabung dan bermitra dengan partainya yang akan
dibentuk. Semakin banyak partai yang menjadi mitra, maka akan semakin
kuat posisi partainya untuk melawan PA, bukan malah mencari permusuhan
dengan partai lainnya. Dalam langkah politik, bukankah kita memerlukan
banyak mitra untuk memperebutkan hati konstituen.
Langkah yang dilakukan oleh Sofyan Dawod dan Irwandi Yusuf itu tentu
sangat berbeda dengan langkah politik yang ditempuh oleh PA. PA
walaupun telah terbukti sebagai partai lokal terkuat di Aceh, namun
masih tetap berusaha mencari dan bermitra dengan partai lokal lainnya
dan juga partai nasional.
Hal itu terlihat pada saat Deklarasi Kandidat Gubernur/Wakil Gubernur
bersama 15 pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dan calon Walikota/Wakil
Walikota di Banda Aceh. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Forum Lintas
Partai Politik Aceh (FLP2A) menyatakan dukungannya terhadap pasangan
Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai calon gubernur dan wakil
gubernur yang diusung Partai Aceh.
Langkah itu, tentu akan memperkuat dukungan untuk PA dan juga
mengecilkan perlawanan terhadap PA. Mestinya, penggagas partai lokal
baru mau belajar dari PA jika memang berhasrat menjadi yang terbaik. Tak
ada salah untuk belajar meski dari pihak yang kini kita benci.
Kendala Partai Lokal Baru
Sebagai pembelajaran saja, membentuk partai lokal baru akan memerlukan
energi dan finansial yang sangat besar, juga akan menghadapi banyak
kendala. Pertama, harus menyediakan kantor perwakilan, kelengkapan serta
pengurus di setiap Kabupaten/Kota hingga kecamatan di seluruh Aceh.
Kedua, jika hasrat membentuk “partai lokal baru” untuk melawan PA, maka
akan ada penentangan dari pendukung PA di lapangan, baik pada saat
pembentukan kantor, kepengurusan, perekrutan kader dan sosialisasi. Hal
ini tentu akan menghabiskan energi yang banyak.
Ketiga, KPA di lapangan dan masyarakat telah mengetahui bahwa kader
“partai lokal baru” tersebut adalah mereka yang telah “dipecat” dari
organisasi KPA/PA, dan mungkin di lapangan ada yang mengambil sikap
berlawanan dengan mereka. Ini akan menjadi isu yang sangat sensitif dan
image negatif bagi mereka. Akibatnya, akan menguras banyak energi untuk
menjelaskannya di lapangan.
Kendala besar lainnya untuk diingatkan pada penggagas partai baru ini
adalah mereka belum teruji kekuatannya dalam pemilihan baik legislatif
maupun eksekutif. Ini seperti membentuk sebuah club bola baru yang belum
pernah melakukan pertandingan, bahkan latihan sajapun belum pernah
dilakukan, lalu bagaimana kita bisa mengukur ataupun berani mengklaim
bahwa club tersebut akan lebih tangguh dari club yang sudah ada?
Sebagai orang yang pernah bersama dan sangat dekat dengan Sofyan Dawod
dan Irwandi Yusuf, dengan menganalisa beberapa pernyataan mereka di
sejumlah media, Saya berpendapat bahwa pembentukan “partai lokal baru”
ini lebih terlihat sebagai wadah “peusak ‘hop” melawan pemimpin dan
hanya akan menciptakan permusuhan antar anggota KPA dan juga sesama
rakyat Aceh, apalagi Sofyan Dawod telah menyatakan bahwa Partai baru ini
tidak akan menerima orang-orang PA. Ini jelas telah menebarkan
kebencian dan menciptakan permusuhan.
Sebaiknya seorang petinggi seperti Sofyan Dawod dan Irwandi Yusuf,
walau bagaimanapun juga mereka telah berjasa dalam perjuangan GAM dapat
berpikir dengan bijak, tidak mengeluarkan pernyataan yang dapat
menciptakan instabilitas politik dan keamanan di Aceh.
Seharusnya pembentukan “partai lokal baru” sebagai wadah mempersatukan
rakyat Aceh, bukan malah menebarkan kebencian dan menciptakan permusuhan
sesama rakyat Aceh, sehingga akan dapat mencerai-beraikan rakyat Aceh.
Kita boleh berbeda misi tetapi visi semua harus sama yaitu untuk
membangun Aceh yang lebih baik, memakmurkan, mensejahterakan dan
meningkatkan harga diri serta martabat seluruh rakyat Aceh di muka bumi
ini.
Seharusnya jika Sofyan Dawod dan Irwandi Yusuf "gentlement" dapat
kembali dengan PA. Bukankah lebih mudah memperbaiki perahu yang bocor
daripada membuat perahu baru? Karena perahu itu telah pernah berlayar
sekali dan sukses mengarungi ombak besar di lautan dan juga telah teruji
kekuatannya serta tercatat dalam sejarah Aceh menjadi perahu yang
terkuat diantara perahu-perahu lainnya. Jangan mudah dikendalikan oleh
mereka yang hanya meminjam sekaligus mencoba mengecilkan politik PA.
Untuk diingatkan kembali, bahwa Pemilu legislatif 2009 PA berhasil
memperoleh sebanyak 1,007,173 suara atau 46,91 persen dari total
2.266.713 orang Aceh yang menggunakan hak pilihnya. Dari 69 kursi di
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sebanyak 33 kursi dikuasai oleh PA
dan 36 kursi terdistrubusi ke 11 partai lainnya. Ini merupakan bukti
nyata bahwa PA merupakan partai lokal yang terkuat di Aceh.
Dalam Pilkada 2012 ini PA secara resmi mengusung kadernya sebagai calon
Gubernur/Wakil Gubernur bersama 15 pasangan calon Bupati/Wakil Bupati
dan calon Walikota/Wakil Walikota di seluruh Aceh.
Sudah cukup Aceh terlibat konflik selama 30 tahun, biarkan rakyat Aceh
saat ini menghirup udara segar dalam perdamaian yang telah dicapai
dengan sangat mahal ini, tanpa ada rasa permusuhan, tanpa ada rasa
ketakutan, tanpa merasa dicurigai dan juga tanpa merasa dimusuhi.
Sungguh, membangun Aceh tidak mesti melalui partai, semua orang Aceh
mempunyai kelebihan dan juga kekurangannya masing-masing. Mari kita
satukan kelebihan kita untuk membangun Aceh ini yang lebih baik dan
kekurangannya mari sama-sama kita perbaiki.
Syardani M.Syarief (Teungku Jamaica) adalah mantan jurubicara
militer GAM Wilayah Samudra Pase/mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala.
http://www.atjehpost.com/