Pemecatan yang dilakukan terhadap
beberapa Ketua KPA wilayah oleh pimpinan KPA adalah imbas daripada penolakan
KPA Wilayah terhadap pencalonan pimpinan GAM sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur dalam pilkada Aceh 2012.
Dalam rapat khusus pimpinan KPA bersama
pimpinan GAM dengan agenda pembahasan cagub yang akan diusung oleh PA di Mess
Mentroe pada bulan februari 2011, dimana pimpinan GAM Malik Mahmud langsung
menunjuk calon gubernur dan wakil gubernur yaitu dr. Zaini dan Muzakkir Manaf
tanpa memberi ruang kepada KPA wilayah untuk berdiskusi terhadap agenda yang
akan dibahas.
Saat itu, KPA wilayah bersikeras memberi
masukan dan mempertanyakan kenapa kedua pimpinan GAM diputuskan untuk menjadi
calon gubernur yang merupakan wakil
pemerintah Republik Indonesia di Aceh. Diantara wilayah tersebut adalah, Batee
iliek yang dipimpin oleh Alm. Saiful alias Cagee. Saiful kemudian ditembak
dalam masa pembelajaran demokrasi di Aceh. Pengorbanan beliau akan menjadi
ukiran sejarah demokrasi di Aceh. Semoga pengorbanan tersebut juga dikenang
oleh para pelaku yang tidak menginginkan demokrasi di Aceh terwujud. Selain itu
juga wilayah Aceh Reyeuk yang dihadiri Muharram, Sabang Izil Azhar, Aceh Jaya
Syarbaini dan Tapak Tuan yang diwakili oleh Kartiwi Dawood.
Tujuan daripada mantan pimpinan KPA Wilayah
tersebut untuk mengingatkan pimpinan GAM Malik Mahmud terhadap keputusan itu,
karena kedua pimpinan yang dicalonkan yaitu Dr. Zaini Abdullah yang bertugas
sebagai menteri luar negeri GAM dan Muzakkir Manaf sebagai ketua KPA pusat,
yang mana mereka berdua sebagai simbolnya perjuangan GAM dan pimpinan tertinggi
dari GAM yang sangat tidak layak dicalonkan sebagai gubernur dan wakil
gubernur.
Dalam pandangan ketua KPA dan GAM di
wilayah, yang dimaksud dengan citra perjuangan
yaitu menyelamatkan pimpinan dan misi perjuangan yang belum selesai,
bukan pimpinan menjadi calon gub dan wagub. Sebagai bukti, butir-butir MoU
Helsinki masih banyak yang belum terakomodir dalam UUPA. Pimpinan GAM
seharusnya tetap berada dalam posisi setara dengan pemerintah indonesia, bukan
malah menjadi wakil dari pemerintah indonesia di Aceh. Hal ini penting agar
para pihak tetap dapat berunding untuk memperbaiki implementasi MoU Helsinki
yang termasuk dalam kategori dispute (yang belum diamandemen/revisi oleh
pemerintah RI kedalam UUPA).
Nah, ketika masukan daripada wilayah
tidak diakomodir oleh pimpinan, kami merasa sangat kecewa, karena disaat perang
kami selalu berprinsip, suksesnya diplomasi politik pimpinan GAM di swedia
adalah karena adanya GAM dan TNA di hutan. Bertahannya TNA dan GAM di hutan,
karena adanya bantuan dari masyarakat. Jika ketiga sistem itu tidak berjalan,
mungkin perdamaian tidak akan lahir seperti yang kita rasakan saat ini.
Kami yang bergerilya di hutan sudah
terbukti sanggup mempertahankan perjuangan. Milad yang sudah dilakukan sampai seterusnya
merupakan bukti bahwa GAM dan TNA tidak kalah dalam berperang. Kalau kalah
dalam berperang, sudah pasti GAM dan TNA tidak dapat melaksanakan milad
tersebut.
Disaat perang, segala kebutuhan logistik
seperti tidak adanya senjata, kami membeli sendiri, tidak adanya peluru kami
membeli sendiri, tidak adanya beras kami membeli sendiri. Syahidnya militer TNA
dan sipil GAM, kami pun menguburkannya sendiri. Segalanya menjadi tanggungan
kami sendiri tanpa bantuan dari pimpinan GAM. Yang kami kecewakan, kenapa tidak
sedikitpun sikap murah hatinya dari pimpinan GAM untuk menghargai segala yang
telah kami lakukan. Maksud daripada keinginan kami untuk dihargai adalah mengapa
tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik praktis yaitu untuk
mencalonkan gub dan wagub. Keputusan itu diambil tanpa musawarah.
Yang kami tau, dalam sumpah (bai’at),
tidak pernah tersebut GAM akan membuat partai, mencalonkan diri untuk menjadi
anggota legislatif dan eksekutif baik di provinsi maupun kab/kota. Karena tidak
ada dalam bai’at tersebutlah kami merasa hal itu harus diputuskan dalam
musyawarah bersama yang melibatkan semua wilayah.
Semua pihak GAM dan TNA tau jelas ketika
mereka dituntut untuk perduli terhadap penderitaan rakyat saat itu, hingga
mereka menjadi gerilyawan, tidak ada satupun tempat pendaftaran diterimanya GAM
dan TNA. Sangatlah Aneh ketika perdamaian, lahir kategori pemecatan. Tapi kami
tidak merisaukan terhadap bahasa pemecatan atau pengkhianat, karena yang kami
lakukan saat perang bukanlah untuk pimpinan tetapi untuk rakyat Aceh.
Kami tetap berkeyakinan masyarakat
membantu kami saat perang karena kami memperjuangkan aspirasi rakyat. Sejauh
kami masih memikirkan aspirasi rakyat, kami akan dihargai oleh rakyat. Ketika
kami tidak lagi memikirkan rakyat, dengan sendirinya rakyat akan melupakan
kami. Dalam artian yang kami takutkan adalah ketika kami dipecat oleh rakyat.
Kami yang dipecat selalu ingat amanat
Yang Mulia Wali Negara Tgk. Sjiek Di Tiro Hasan bin Muhammad, Hana peunawa bak musoh.
Wassalam,
Muksalmina
Mantan Juru Bicara Komando Pusat
sember :
http://irwandi.info