DIA adalah politikus PAN yang mewakili dapil Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) I. Bernama lengkap Sayed Mustafa, ia dilantik menjadi anggota DPR
untuk menggantikan Azwar Abubakar yang baru ditunjuk Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).
Oleh pimpinan fraksinya, Sayed dipercaya untuk duduk di komisi I, yang
di antaranya membidangi pertahanan dan intelijen. Karena itu, TNI dan
BIN menjadi mitra kerja Sayed sekarang.
Sebagai mantan tokoh penting GAM, Sayed pernah mengalami masa-masa yang
kurang menyenangkan dengan dua institusi negara tersebut. Tapi, bagi
Sayed, itu sepenuhnya masa lalu. Sekarang dia justru bersemangat
mendorong profesionalisme intelijen negara.
"Dulu berseberangan ideologi. Bahasa kasarnya musuh lah. Tapi, sekarang
saya sering berdiskusi dengan teman-teman intelijen yang beberapa di
antaranya sebelumnya sudah saya kenal," kata Sayed saat berbincang
dengan Jawa Pos di Jakarta kemarin (28/8).
Saat Sayed mulai muncul di DPR, beberapa kolega sesama anggota komisi I
sempat bertanya dengan nada bercanda mengenai GAM. "Saya bilang kepada
teman-teman itu bahwa GAM sudah ada di sini (DPR, Red), tidak ada lagi
di sana," cerita Sayed, lantas tertawa lepas.
Setelah tercapai perjanjian damai melalui MoU Helsinki yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005, Sayed
memastikan bahwa aktivis GAM sudah kembali ke tengah masyarakat. Sebagai
warga negara, mereka memiliki hak yang setara dengan warga negara
lainnya.
"Sebagai WNI, saya mengambil posisi berkolaborasi dengan teman-teman di
DPR," imbuh pria kelahiran Kabu Tunong, Kecamatan Seunagan Timur, Nagan
Raya, NAD, pada 4 Juli 1962 itu.
Sayed menuturkan, dalam kurun 1986"1988 dirinya sempat bekerja di
Jakarta pada sebuah perusahaan ekspor-impor berlabel PT Inabuna. Sekitar
pertengahan 1988, Sayed membuat keputusan untuk ikut mendirikan GAM
Aceh Barat-Aceh Selatan yang membawahkan delapan kabupaten.
Setelah sebelas tahun menggalang kekuatan GAM di Aceh, pada 1999 Sayed
yang baru resmi menjadi koordinator GAM Aceh Barat dan Aceh Selatan itu
kembali ke Jakarta. "Saya ditugaskan mencari perlengkapan perang," ujar
dia. Selama berada di Jakarta, Sayed nyambi bekerja di PT Gunung Agoi
Nusantara yang bergerak di bidang pengurusan jasa ekspor-impor di
Tanjung Priok dan Bandara Soekarno-Hatta.
Di tengah situasi yang kian panas antara pemerintah RI dan GAM, pada
Oktober 2003 Sayed ikut dalam lobi dengan Jusuf Kalla di Hotel Okura,
Amsterdam. Setelah Sayed pulang dari forum negosiasi itu, aktivitasnya
terus dipantau aparat keamanan. Pada 24 Maret 2004 dia ditangkap.
"Saya ditangkap di sebuah mal di Depok," kenang suami Elly Susilawati
yang dianugerahi dua anak tersebut. Sayed mengaku saat itu sempat
mengalami kekerasan. "Tapi, bukan sama penangkapnya. Yang menangkap saya
orang baik-baik semua. Saya disiksa setelah ditangkap," katanya.
Soal keputusannya untuk menjadi politikus, Sayed juga punya cerita.
Awalnya, dia mengaku tidak berminat untuk bergabung dengan partai
politik. Tapi, ajakan dari beberapa temannya di Aceh dan Jakarta
meluluhkan hatinya. Pada 2008 Sayed resmi bergabung dengan PAN. "Saya
dipertemukan dengan Pak Zulkifli Hasan (Sekjen PAN 2005"2010 yang kini
menjadi menteri kehutanan, Red)," ujar Sayed.
Mengapa PAN yang dipilih" Sayed kembali bercerita, setelah ditangkap
pada 2004, dirinya langsung diadili. Pada tahun yang sama Sayed divonis
16 tahun penjara. Selama delapan bulan pertama menjalani kehidupan di
penjara, dia tidur dalam keadaan tangan diborgol.
"Suatu malam, saat tidur dengan tangan masih diikat itu, kalau nggak
salah Oktober, saya bermimpi. Datang Prof Amien Rais, masuk ke "kamar
kost" (penjara, Red). Beliau ucapkan salam, saya jawab. Kami bersalaman.
Kemudian, beliau minta izin pulang tanpa ngomong apa-apa. Prof Amien
Rais datang lengkap dengan baju PAN dan atributnya," kenang Sayed.
Mimpi itu terus diingat Sayed. "Saya sendiri belum pernah cerita ke Pak
Amien," ucap Sayed, lantas tersenyum. Dia semakin bersemangat untuk
bergabung dengan PAN karena sepupunya, yakni mantan Bupati Aceh Selatan
Sayed Mudhahar Ahmad (almarhum), merupakan pendiri sekaligus ketua
pertama PAN Aceh pada 1999.
Sayed berharap pemerintah dapat memelihara perdamaian yang sudah
terbangun di Aceh. Terutama komitmen mendorong kesejahteraan masyarakat.
"Bukan Aceh saja, tapi seluruh warga negara berhak mendapatkan
kesejahteraan. Konflik di Aceh itu sudah tidak ada lagi lah. Luka lama
tidak usah diungkit-ungkit. Bangun Aceh dalam nuansa Indonesia sesuai
dengan harapan semua orang," tegas Sayed.