ERA kemerdekaan setelah proklamasi lahir di Jakarta, Aceh sebagai daerah
yang menyatakan ikut berjuang untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) terus melakukan perubahan-perubahan terhadap kebiasaan
peninggalan penjajah, baik Belanda maupun Jepang yang dirasakan buruk
untuk mentalitas penduduk Serambi Mekkah ini.Melalui birokrasi Jabatan Agama dan kekuatan politik, Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) sebagai organisasi besar di Aceh pada masa itu
bersama Masyumi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Mujahidin,
berusaha memberantas perilaku yang bertentangan dengan Syariat Islam di
Aceh.
Seperti ditulis sejarawan Aceh Profesor Isa Sulaiman dalam bukunya "Sejarah Aceh; Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi," Teuku Muhammad Amin dan Teungku M. Daud Beureueh selaku tokoh Aceh pada masa itu, melalui sidang Badan Pekerja Dewan Perwakilan Aceh (BPDPA) pada tanggal 29 Juli hingga 9 September 1946 mengusulkan agar murid perempuan dari Sekolah Menengah dilarang bermain sandiwara (tonil). Kaum perempuan juga dilarang menjadi pegawai. Alasannya, pada masa Jepang, perempuan yang menjadi pegawai dijadikan sebagai bunga kantor. Pada saat itu, wanita juga disediakan wagon khusus di kereta api.
Hal ini dilakukan tokoh-tokoh Aceh karena merasa takut apabila kebiasaan-kebiasaan buruk pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang tersebut, terus berlanjut setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaan. Keputusan larangan ini dilakukan secara bijaksana agar kaum wanita terlindungi di masa transisi kemerdekaan tersebut, dari kebiasaan-kebiasaan pejabat pribumi yang sudah terbiasa dengan prilaku para pejabat Belanda dan Jepang selama mereka menancapkan kukunya di Aceh dan Indonesia.
Selain larangan di atas, kedua tokoh Aceh ini juga menyorot tradisi pemeliharaan nyai (gundik) yang kerap dipraktekkan sejak jaman Belanda hingga masa Jepang.
Dalam sidang itu, para tokoh PUSA ini juga mengajukan sepuluh tuntutan lainnya yang menjadi pembahasan sidang. Diantaranya menyangkut larangan memperjual belikan minuman keras, pemisahan rumah tahanan lelaki dan wanita, hukuman berat kepada pelaku zina dan judi, pengadaan jam pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, sensor film dan sandiwara, serta pengalihan kantor Harta Negara kepada Baital Mal.
Dalam sidang tersebut, usulan-usulan ini pada 9 September 1946 mendapat dukungan dari pemuka agama di Aceh yang menandakan lahirnya sistem kepemerintahan Islam dan pondasi awal penegakkan Syariat Islam di Aceh, dalam bentuk hukum dan demokrasi yang sah.
Seperti ditulis sejarawan Aceh Profesor Isa Sulaiman dalam bukunya "Sejarah Aceh; Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi," Teuku Muhammad Amin dan Teungku M. Daud Beureueh selaku tokoh Aceh pada masa itu, melalui sidang Badan Pekerja Dewan Perwakilan Aceh (BPDPA) pada tanggal 29 Juli hingga 9 September 1946 mengusulkan agar murid perempuan dari Sekolah Menengah dilarang bermain sandiwara (tonil). Kaum perempuan juga dilarang menjadi pegawai. Alasannya, pada masa Jepang, perempuan yang menjadi pegawai dijadikan sebagai bunga kantor. Pada saat itu, wanita juga disediakan wagon khusus di kereta api.
Hal ini dilakukan tokoh-tokoh Aceh karena merasa takut apabila kebiasaan-kebiasaan buruk pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang tersebut, terus berlanjut setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaan. Keputusan larangan ini dilakukan secara bijaksana agar kaum wanita terlindungi di masa transisi kemerdekaan tersebut, dari kebiasaan-kebiasaan pejabat pribumi yang sudah terbiasa dengan prilaku para pejabat Belanda dan Jepang selama mereka menancapkan kukunya di Aceh dan Indonesia.
Selain larangan di atas, kedua tokoh Aceh ini juga menyorot tradisi pemeliharaan nyai (gundik) yang kerap dipraktekkan sejak jaman Belanda hingga masa Jepang.
Dalam sidang itu, para tokoh PUSA ini juga mengajukan sepuluh tuntutan lainnya yang menjadi pembahasan sidang. Diantaranya menyangkut larangan memperjual belikan minuman keras, pemisahan rumah tahanan lelaki dan wanita, hukuman berat kepada pelaku zina dan judi, pengadaan jam pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, sensor film dan sandiwara, serta pengalihan kantor Harta Negara kepada Baital Mal.
Dalam sidang tersebut, usulan-usulan ini pada 9 September 1946 mendapat dukungan dari pemuka agama di Aceh yang menandakan lahirnya sistem kepemerintahan Islam dan pondasi awal penegakkan Syariat Islam di Aceh, dalam bentuk hukum dan demokrasi yang sah.
http://atjehpost.com