post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}
Gubernur Aceh, Zaini Abdullah memuji pidato dan ingatan kuat yang dimiliki Presiden SBY, menjelang gencatan senjata dan perundingan damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka, medio 2005 lalu.
“Saya tersentuh dengan pernyataan Presiden Yudhoyono. Beliau punya ingatan yang sangat kuat menjelang ‘gencatan senjata’ dan perundingan damai pada waktu itu,” kata Gubernur Zaini kepada Atjeh Post, di Hotel Pullman Jakarta, Senin 12 November 2012.
Gubernur Zaini mengatakan, sudah dua kali ia menyampaikan kekagumannya atas ingatan tajam Presiden SBY. Pertama, ketika ia dan Wagub Muzakir Manaf diterima oleh Presiden SBY dan sejumlah menteri, di kantor Presiden, Juli 2012.
Sementara yang kedua, Zaini menyampaikan kekagumannya saat Presiden SBY pidato dalam acara Multi Donor Fund yang akan menuntup mandatnya di wilayah Indonesia, Jakarta, Senin 12 November 2012. Pidato tersebut tentang tsunami dan kaitannya dengan upaya perdamaian di Aceh.
"Tentu prihatin dan ‘touching’ (menyentuh hati) karena beliau (Presiden SBY) mengingatkan kembali apa yang terjadi dari semula. Tsunami, lalu 30 tahun konflik, dan perselisihan lalu tawaran perdamaian sebagai konsep kunci menyelesaikannya," ujar Gubernur Aceh, Zaini Abdullah ketika ditanyakan tanggapannya mengenai isi pidato Presiden SBY.
Zaini membenarkan apa yang dikatakan SBY, tentang memberikan kabar kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada waktu itu, setelah tsunami.
"Dan ya memang saya setuju semua," ujar dia.
Karenanya, kata Zaini, setelah mendapatkan kabar tersebut antara GAM dan TNI di lapangan sepakat untuk gencatan senjata (cease-fire).
"Mereka (TNI) semua turun mengangkat mayat-mayat ketika tsunami, malah TNI yang banyak bantu. Tentu mereka mendengar apa kata atasannya. Tetapi dari semula kami sudah katakan akan meletakkan senjata, dan yang paling penting adalah menolong korban (tsunami)," tutur Gubernur Zaini Abdullah.
Zaini mengatakan, seandainya musibah tsunami tidak ada tentunya proses perdamaian akan membutuhkan waktu lama. Dia mengatakan, proses perdamaian sudah berapa kali dicoba dan menemui kegagalan. Seperti pada tahun 2000, dimana GAM telah mencoba berdamai di Jenewa.
"Tetapi apa yang terjadi mungkin karena tidak ada komunikasi yang bagus antara pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka. Sehingga kolaps (gagal) perundingan itu ketika di Tokyo, 23 Mei 2003," ujarnya kepada ATJEHPOSTcom.
Dia mengatakan, sebenarnya memasuki tahun 2004-2005 pihak GAM belum berencana untuk melakukan perundingan lagi dengan Indonesia. Tapi, perundingan itu terwujud sendirinya dengan adanya musibah tsunami di Aceh.
Pada waktu itu, kata dia, Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengusulkan adanya perdamaian di Aceh. Bahkan, kata dia, GAM saat itu mendapat telepon langsung dari SBY dan JK.
"Ya tentu Presiden sebagai kepala negara, kedua-duanya, dan tentu Pak JK memberi inisiatif agar konflik bisa diselesaikan dengan perundingan."
Dia menceritakan, Jusuf Kalla sudah mencoba melacak keberadaan pimpinan GAM, dari negeri Belanda hingga ke Swedia. Hal tersebut dilakukan JK melalui anggota-anggotanya, seperti Farid Husein dan Hamid Awaluddin.
"Tetapi pada waktu itu kami belum berani karena takut sesuatu yang tidak ada kebenaran," kata Zaini Abdullah.
Selain itu, ujar Zaini Abdullah, waktu tsunami terjadi pihaknya juga dihubungi oleh Juha Christensen, anggota Aceh Monitoring Mission, dan kemudian Presiden Marti Ahtisaari.
"Jadi Juha yang beritahu ketika kami masih di Swedia. Maka saya datang bersama teman-teman ke Finlandia," kata Zaini.
Setelah melakukan pertemuan dengan Presiden Ahtisaari dan mengetahui informasi tersebut, Zaini kemudian menceritakan bahwa Wali Nanggroe GAM Hasan Tiro berpikir positif tentang usulan perdamaian tersebut. Apalagi, Aceh pada saat itu dilanda tsunami.
http://atjehpost.com