post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Anak Aceh : Malik Mahmud yang Asli Lambaro

RUANGAN itu tak terlalu luas, sekitar 10 x5 meter. Sebuah lukisan wajah almarhum Teungku Hasan Muhammad di Tiro terpajang. Di dinding sebelah kiri, ada puluhan foto semenjak Wali Nanggroe muda hingga tutup usia pada 4 Juni 2010 lalu. Memasuki ruangan itu, seperti membaca kembali riwayat hidup Hasan Tiro dalam bingkai foto.
Ada sebuah meja di ruangan tengah. Di ruangan inilah Malik Mahmud menerima tamunya. Tak ada menu istimewa. Hanya ada air mineral, biasanya ada satu sisir pisang barangan --di Aceh disebut pisang ayam-- dan jeruk manis tersaji dalam piring putih.
Hampir setiap hari, ada saja yang datang. Mulai dari sekedar silaturrahmi, diskusi politik, hingga rapat-rapat penting menyangkut arah masa depan Aceh.
Terletak di kawasan Geuceu, Banda Aceh, Malik sudah menempati rumah itu sejak kembali ke Aceh April 2006 lalu. Sebetulnya ini rumah kontrakan.
Setiap hari, sekitar 20-an petugas yang direkrut dari kalangan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka bergantian menjaganya 24 jam. Selain penjaga, Malik ditemani seorang lelaki yang bertugas mengurusi kebutuhannya sehari-hari.
Setelah Teungku Hasan Tiro wafat, Malik menjadi orang nomor satu di tubuh organisasi mantan gerilyawan ini. Dia kini Pemangku Wali Nanggroe.
Sekilas Malik terlihat sebagai sosok yang dingin, misterius dan tertutup. Tak banyak riwayat hidupnya yang diketahui khalayak. Di media, ia hanya bicara sepotong-sepotong. Tapi sesungguhnya, Malik adalah sosok yang enak diajak bicara dan susah berhenti bila bercerita tentang sejarah dan kisah lama. Kadang tertawa lepas, saat mengenang kisah-kisah yang lucu. Kadang serius dengan mimik haru.
Lahir pada 29 Maret 1939 silam, Malik asli berdarah Lambaro, Aceh Besar. Orangtuanya, Teungku Haji Mahmood dan Nyak Asiah, adalah saudagar alias pedagang yang kerap keluar Aceh untuk menjalankan usaha. Pada 1925, karena melanggar aturan Belanda yang memonopoli perdagangan, ayahnya hijrah ke Singapura.
Selain berdagang, Teungku Mahmood terlibat dalam perjuangan mengusir penjajah. Ketika Indonesia merdeka, peran itu masih berlanjut. Saat DI/TII di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh meletus pada 21 September 1953, Tengku Mahmood terlibat langsung mendukung Daud Beureueh, jabatannya sebagai duta. 
Rumahnya menjadi tempat singgah bagi tokoh-tokoh yang ke luar negeri mencari perbekalan perang dan membangun diplomasi dengan negara luar. Jadilah, rumah Malik bagai terminal bagi orang-orang Aceh yang ke sana.
“Rumoh di Singapura ka lagee meunasah,” kenang Malik. Bahkan, ia pernah berbagi kamar dengan Hasan Saleh, salah satu pentolan DI/TII.
Malik yang saat itu masih berusia 14 tahun, sering diminta ayahnya untuk membalas surat para pejuang dari Aceh. Ia juga bertugas sebagai pencuci negative film, gambar-gambar kegiatan DI/TII di Aceh.
Dari situlah ia berkenalan dengan perjuangan Aceh. Ia juga kerap diminta ayahnya menjadi mata-mata, menjaga agar rapat-rapat rahasia tak diketahui intelijen negara. “Malek, ka kalen na awak nyan di lua,” cerita Malik meniru kata sang Ayah. Mendapat perintah, Malik muda pun sigap memantau di luar rumah.
Dari sekian surat yang dibalas, Malik sangat terkesan dengan surat dari Hasan Tiro yang saat itu bermukim di Amerika Serikat. Dari situlah, dia mulai menaruh simpati dengan tokoh yang kemudian memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka. 
Mereka pertama kali bertemu muka awal 1963, saat Hasan Tiro ke Singapura. Dia menginap di rumah Malik dan banyak berdiskusi soal Aceh. Pertemuan itu begitu membekas di benak Malik. “Saya tertarik penampilannya, sopan, wibawa, kharismatik. Saya banyak belajar dari beliau,” kata Malik.
Setelah DI/TII mereda, Malik sibuk membantu ayahnya mengembangkan bisnis. Begitu juga Hasan Tiro yang membangun bisnis di Amerika Serikat. Tapi hubungan keduanya tetap berlanjut dalam surat menyurat.
Malik kerap pulang membangun bisnis. Dia mendengar dan mempelajari bagaimana orang Aceh hidup, juga menyerap aspirasi bahwa warga belum puas terhadap perdamaian. Kesejahteraan hidup masih jauh dari harapan.
Kesempatan untuk bersama Hasan Tiro datang pada 1974. Hasan Tiro yang sempat dilarang masuk ke Indonesia, diijinkan pulang karena abangnya Zainal Abidin meninggal dunia. Syaratnya, tak menyentuh sisi politik. Syarat itu disanggupi.
Berangkatlah Hasan Tiro menuju Kuala Lumpur. Malik menunggu di sana. “Malik saya berangkat ke Aceh, kamu ikut saya.” Malik mengiyakan ajakan itu.
Dari Kuala Lumpur, perjalanan dilanjutkan ke Medan. Muhammad Lampoh Awe yang menunggu di sana mengantar mereka dengan dua mobil. Tujuan pertama adalah rumah Zaini Abdullah – sekarang Zaini adalah Gubernur Aceh-- di Kuala Simpang. Saat itu, Zaini berprofesi sebagai dokter di Puskesmas setempat. Itulah pertama kalinya Malik bertemu Doto Zaini.
Malam itu mereka berbagi cerita, diselingi canda tawa sampai pagi. Banyak warga berkumpul, semua bicara perang dan  menginginkan kembali adanya gerakan kemerdekaan. “Nyoe woe ken untuk meu prang (ini bukan pulang untuk perang),” kata Hasan Tiro kala itu.
Sepanjang Medan – Pidie, mereka kerap singgah di warung-warung. Hasan Tiro saat itu memakai peci dengan baju safari kuning. Juga memegang tongkat. Di mana mereka singgah selalu ramai disambut warga. Di Pidie, mereka sempat diikuti intel pemerintah.
Setelah kepulangan itu, mereka kerap bertemu di Singapura dan membahas politik Aceh. Beberapa tokoh di Aceh juga datang. Sebuah kesimpulan diambil: gerakan kemerdekaan harus dideklarasikan.
Tahun 1976, ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka, Malik tak ikut. Dia memantau dari Singapura. Kabinet dibentuk, Malik mengisi posisi sebagai Menteri Negara.
Sejak itu, panggilan Mentroe melekat di depan namanya.
Sebagai Meuntroe, Malik mendapat tugas berat. Keberadaannya di Singapura yang berbatas langsung dengan Indonesia membuatnya jadi penghubung antara wali dan para gerilyawan. “Jika Wali berhalangan, saya yang menjalankan tugas.”
Ia juga bertugas memasok senjata sampai merekrut pasukan untuk dilatih. Yang fenomenal adalah pelatihan di Maktabah Tazzura di Libya. Bersama Wali, Malik sering ke sana, termasuk menghadiri pertemuan dengan seluruh pasukan gerilyawan yang memperjuangkan kemerdekaan di negaranya pada 1986. Ada dari gerilyawan Philipina dan Thailand, bahkan belahan Afrika lain.
Malik adalah pemikir strategi perang. Dari luar negeri, Malik mengkoordinir pasukan di lapangan lewat Geuchik Umar yang memimpin pasukan gerilyawan.
Ketika Geuchik Umar meninggal, Malik yang mencari penggantinya. Setelah menghubungi para panglima di lapangan, semua merujuk pada satu nama; Abdullah Syafii. Malik lalu menyurati Wali. Balasannya; mengangkat Teungku Lah, nama sapaan Abdullah Syafie, sebagai panglima perang. Surat berlaku satu tahun.
Satu tahun berlalu, masa jabatan habis. Tak nyaman, Teungku Lah menghubungi Malik. “Lalu saya bilang, jalankan saja jabatan itu, ini sudah saya sampaikan secara lisan dan tak perlu surat lagi.” Abdullah Syafii lega, dan terurs memimpin kombatan.
“Saya tak pernah bertemu Teungku Lah sampai beliau syahid. Tetapi semua instruksi dijalankan dengan baik. Sayang, beliau lebih dahulu pergi meninggalkan kita,” kata Malik.
Sepeninggal Teungku Lah, Muzakir Manaf diangkat sebagai pengganti. Berbeda dengan Teungku Lah, Malik sudah sering bertemu Muzakir. Apalagi, Muzakir adalah lulusan terbaik Kamp Tanjura.
Tugas terberat Malik adalah ketika proses perundingan di mulai. Tahun 2003 saat perundingan di Tokyo, Malik menghadapi tugas berat. Perundingan tak men­capai titik temu. GAM menghendaki kemerdekaan Aceh, RI menolak dan hanya memberikan opsi otonomi khusus.
Malik bertanya ke lapangan, dan hasilnya para panglima mengatakan lebih bagus berperang. Perjanjian damai dihentikan, maka Aceh pun berstatus darurat Militer.
Malik bersama Zaini terus memimpin dari Swedia. Bahkan Pemerintah Indonesia pernah memperkarakan mereka sebagai warga asing yang menyulut perang di Indonesia. Mereka sempat ditahan dua malam di penjara sana untuk pemeriksaan, tapi kemudian dilepas lagi karena tak terbukti.
Pintu damai kembali terbuka setelah Aceh dihantam gelombang tsunami 26 Desember 2004. Aceh berduka. Pintu masuk perdamaian dibuka kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Martti Ahtisaari dari Crisis Management Inisiative menjadi mediator. Malik Mahmud memimpin delegasi GAM. Dalam perundingan lima babak itu, damai kemudian ditoreh di Aceh, 15 Agustus 2005.
Damai datang, Malik pun menjadi lebih sering menjejakkan kakinya di Aceh. Sejak itu, dia berpikir kembali untuk membangun Aceh di masa damai. Meninggalkan bisnis dan empat anaknya di luar negeri. Istrinya Mariam Muhammad Said telah tiada.
Malik selalu jadi pendamping Wali sebagai penjaga amanah. Saat wali pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008, Malik lah yang membaca amanah Wali. “Biaya perang mahal, biaya memelihara perdamaian juga lebih mahal. Maka dari itu, peliharalah damai untuk kesejahteraan kita semua,” begitulah amanah Wali.
“Saya akan selalu menjaga amanah Wali untuk kesejahteraan rakyat Aceh, meneruskan perjuangan beliau,” kata Malik.
Ditanya tentang sejumlah kontroversi tentang dirinya yang muncul di internet, Malik hanya tersenyum. "Yang penting kita berbuat yang terbaik saja," ujarnya.
Malam itu, ketika kami pamit pulang, ia mengantar hingga ke mulut pintu.
 http://atjehpost.com