Sangat menarik temuan doktor Agus_Sabti bahwa "penyebab utama miskin
adalah (1) kurang kreativitas (krn kurang pengetahuan dan ketrampilan);
(2) lingkar sejarah yang berasal dari keluarga miskin; (3) kurang modal;
dan (4) faktor lain (sperti sakit dan cacat)".
Coba
saja faktor utama, kurangnya kreativitas (disebabkan variable
antecedent pengetahuan & keterampilan), ditelaah secara akademis
mestinya ditemukan lokomotif (prime mover) yang menghasilkan "budaya
kreatif" warga masyarakat kita. Sejauh amatan saya (subjective
understanding) institusi pendidikan (sistem nilai, struktur, dan
organisasi) kita yang sudah tidak compatible (atau bahkan tidak
conducive) dengan karakteristik komunitas kita. Institusi pendidikan
(rasional) modern hampir seluruhnya tidak match dengan kondisi
sosial-budaya kita yang masih (tradisional: afektual+emosional)
konservatif. Sejauh ini kebanyakan kita merujuk pada kaidah-kaidah
pendidikan dan pengajaran yang tidak memenuhi kriteria "independent,
kompetitif, dan meritocracy". Umpamanya, bagaimana hubungan antara
kejujuran dan kebenaran dengan capaian dalam sistem seleksi atau ujian
masuk Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi, penerimaan kerja
PNS, termasuk Ujian Akhir Negara (UAN), dan sebagainya.
Semua
gambaran tersebut menurut hemat saya telah membawa-serta konsekuensi
pada kelemahan kreativitas peserta didik, yakni masyarakat. Dengan
strategi pemahaman subjektif itu saya juga memperoleh data bahwa
aplikasi sistem pendidikan Perguruan Tinggi (PT) S1 dan S2 kita selama
ini, setidaknya di lingkungan saya bekerja sebagai dosen, tidak banyak
memberikan harapan (5-10 tahun ke depan) terhadap penanggulangan
kekurangan dalam hal kreativitas lulusan PT. Jadi, kita akan
menghasilkan calon-calon penganggur (intelektual) terdidik di Aceh.
Industrialisasi yang merambah ke institusi pendidikan, sadar atau tidak
sadar, akan memberikan imbas balik kepada kita semua dalam wujud
pengangguran dan ketidak-percayaan (distrust) di antara kita, terlebih
lagi para investor. Ini adalah salah satu ancaman modal sosial (social
capital) kita yang berpengaruh pada modal ekonomi kita ke depan.
Untuk
mengendalikan keadaan sosial ekonomi daerah kita agar tidak semakin
prihatin, sebelum terlambat, kita perlu meningkatkan rasionalitas,
utamanya di bidang pengelolaan pendidikan. Peran lembaga ini amatlah
strategis dalam upaya menanggulangi faktor utama kemiskinan, yakni
kelemahan kreativitas warga atau calon-calon pencari kerja ke depan.
Kita tidak harus terperangkap lagi dengan pranata pendidikan
adat-tradisional yang tidak antisipatif atas tantangan konsekuensi
latent modernitas industrial. Kita mesti merubah paradigma berpikir (way
of life) yang conducive bagi kesuksesan duniawi yang asketis.
Demikianlah
sekelumit tanggapan terhadap faktor utama penyebab kemiskinan dan
pengangguran di daerah kita. Semoga mendapat masukan kritis dan
dialektis dari warga milis semua untuk masa depan Aceh yang menjanjikan.
Mohon maaf jika ada kata yang tidak pada tempatnya.
Salam idul qurban, saleh sjafei
------------------------------
Re: (GreenAcehCommunity) Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?
From: "Agus Sabti"
Kemiskinan
itu penyebabnya adalah multikorelasi. Tapi kalau dilihat dari potensi
negeri ini penyebab utamanya lebih karena faktor non-fisik dari pada
faktor fisiknya, yakni mental pejabat dan mental rakyatnya yakni
kurangnya kreatifitas dalam berinovasi. Hasil penelitian saya tentang
penyebab kemiskinan menunjukkan bahwa penyebab utama miskin adalah (1)
kurang kreativitas (krn kurang pengetahuan dan ketrampilan); (2) lingkar
sejarah yang berasal dari keluarga miskin; (3) kurang modal; dan (4)
faktor lain (sperti sakit dan cacat).
Temuan
ini menunjukkan bahwa program pemerintah yang selalu mengandalkan
bantuan fisik dalam mengurangi orang miskin adalah salah kaprah. Karena
yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana meningkatkan kreatifitas
masyarakat miskin. Misalnya membangun irigasi untuk seluruh jaringan
sawah dan membangun jaringan jalan (minimal pengerasan) ke sentra
produksi, di samping membangkitkan kembali gairah penyuluhan. hal yg
lebih penting lagi bagaimana pemerintah bisa menjamin pasar dan harga
dari hasil pertanian rakyat. Dengan demikian tidak ada alasan petani
tidak bertani karena tidak ada air, tidak ke ladang karena terlalu jauh.
Dan kalau harga tinggi, petani pasti akan muncul kreatifitasnya. Ingat
waktu nilam melonjak harganya, semua petani kreatif mencari informasi
dan menanam nilam. syang itu tdk bertahan lama.
Oleh
sebab itu, saran kepada pemerintah, Orientasi produksi pertanian harus
dirubah dari on-farm (pertanian budidaya) ke pertanian off-farm
(pengolahan hasil dan pemesarannya) dan jangan suka cuma duduk di kantor
atau warung kopi, tapi kerahkan semua anak buah ke lapangan sehingga
mereka tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakatnya. ini tidak
mustahil dan sdh dipraktekkan di Cina dan India. Mereka berhasil, semoga
kita juga berhasil shg negeri ini bisa berjaya ke depan. Sayang sekali
masyarakat kita miskin di tengah sumberdaya yang melimpah. Semoga
bermanfaat, Agussabti.
---------------------------
2010/11/18 Adie Usman MUSA <adie.usman@gmail.com>
Kok
tanya ke ekonom? Apakah memang kemiskinan itu urusannya Ekonom?
Bukankan semua sektor dengan beragam profesi berkontribusi pada
peningkatan/pengurangan kemiskinan? hmm...
Saleum,
============
INSTITUT GREEN ACEH (IGA)
============
INSTITUT GREEN ACEH (IGA)
"...the old is destroyed...time itself changes...
and upon the ruins of destruction...
flowers a new life"
(Schiller: Wilhelm Tell)
----- Original Message -----
From: HELB
Sent: Thursday, November 18, 2010 10:23 AM
Subject: (GreenAcehCommunity) Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?
Kemiskinan Aceh: Dimana Para Ekonom Kita?
Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2010 menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin ke-tujuh dalam skala nasional dengan prosentase 20,98 persen dari total 4.486.570 jiwa penduduknya. Pada satu sisi data menunjukkaan adanya penurunan angka kemiskinan sebesar 0,82 persen dibandingkan dengan data pada tahun 2009. Namun pada sisi lain, angka ini belum sepenuhnya menjadi berita gembira karena angka kemisikinan di Aceh masih berada di bawah rata-rata prosentase nasional yang berkisar pada angka 13, 33 persen.
Melihat data diatas, maka kesimpulan kita Provinsi Aceh belum mampu mengentaskan kemiskinan secara optimal, padahal provinsi ini tergolong provinsi yang paling banyak menerima bantuan, baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (OtSus), dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dana rehab-rekon, bantuan luar negeri (multidonor fund),
dan dana reintegrasi. Jika diakumulasikan total dana tersebut
berjumlah lebih dari 10 triliyun rupiah. Kondisi ini menjadi semakin
ironis ketika Aceh termasuk daerah yang memiliki kekayaan alam
melimpah yang dapat dikelola untuk mengurangi angka kemiskinan diatas
(Serambi, 08/11/2010)
http://salehsjafei.blogspot.com