Akhir-akhir
ini ada kecenderungan cara-cara berpikir dan bersikap-tindak dalam
komunitas Aceh semakin tidak memperlihatkan kerangkanya yang jelas,
nyata, dan tegas (distorsi etika keseragaman). Panduan lama dalam wujud ‘moralitas’ dan ‘hukum lokal’ yang lebih menekankan pada pandangan dunia komunal (komunalisme-relijius)
dengan landasan identitas sejarah dan jati-diri keAcehan sudah melemah.
Pola berpikir itu hampir tidak efektif lagi sebagai schemata legitimasi untuk mengatasi pengalaman hidup baru para agensi Aceh yang makin rasional. (Lihat
Persekongkolan terorganisir secara kekeluargaan, KKN merambah ke
berbagai ranah birokrasi-publik, sebagai perselingkuhan hasil distorsi
itu). Kerangka panduan hidup rujukan kita sedang mengalami ancaman anomali akibat modernisasi global yang tak-terhindarkan.
[1] Sementara acuan ‘hukum’ baru dengan pandangan dunia (schemata legitimasi) individualisme-rasional belum kunjung datang sepenuhnya. (artinya, sebagian pola pikir itu sudah diterima melalui qanun-qanun Aceh dengan berbagai keterbatasan), (mungkin itu pun karena dijemput oleh agensi Aceh untuk kebutuhan akulturasi dengan arus global). (Agensi itu mencakup para subjek yang memiliki capacity dan knowledgeability termasuk elemen-elemen the iterational, the projective, dan the practical evaluative). Panduan baru itu adalah kebiasaan mutakhir para agensi masa kini yang berbasis heterogenitas dan akomodatif bagi kesadaran dan kebutuhan Aceh kontemporer. Namun demikian, terdapat clash dalam kedua world-view tersebut yang berakibat pada agensi individual.
Jika
pola hidup lama didasarkan pada komunalisme-religio-magis yang
terkonsolidasi dan relatif lebih tertutup (dogmatis dan ideologis), maka
acuan hidup masyarakat Aceh Baru yang mungkin bisa mengatasi tegangan
itu seyogianya dilandasi spirit individualisme-relijiusitas-rasional (semacam wordly asceticism) yang terorganisasi dan menjunjung keterbukaan (dan meritocracy).
[2] (konsep Individualisme di sini adalah ‘the individual’, agensi mandiri, dengan suatu identitas tersendiri; termasuk juga produk individuasi standarisasi dalam proses birokrasi, yang berbeda dari individualisme sebagai ideologi sosial dan politik dengan berbagai tradisi nasional.
Gejala
perubahan berpikir komunitas Aceh lama menuju masyarakat Aceh yang baru
tentu saja berkaitan dengan masalah moralitas. Sistem nilai-budaya lama
mengalami tantangan moralitas okupasi masyarakat masa kini yang
cenderung sekular. Hal ini untuk menunjukkan bahwa masyarakat Aceh
sedang bergelimang dengan pelbagai wujud mobilitas dan kelompok okupasi
sehingga proses transisi dari moralitas-kolektif menuju
moralitas-individual rasional tak mungkin ditolak.
[3] Lihat
perselisihan kedua moralitas itu bergelut dalam proses pendidikan
modern di mana harusnya kekuatan individu menjadi dasar strukturalnya.
Dalam proses yang demikian itu tentu terjadi perselisihan, di mana schemata struktural (moralitas normatif dan hukum positif) lebih menentukan kebutuhan para agensi masa kini. Pertanyaannya adalah bagaimana refleksi kita atas dualisme pandangan dunia,
[4] yang mengandalkan hubungan deterministik pada keberadaan para agensi dan masyarakat Aceh baru?
Tulisan ini lebih bercorak usulan kerangka pemikiran (baik perspektif filosofis maupun paradigma sosiologis)
bagi pemerhati dan praktisi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam
upaya kita memberikan tempat, ruang, dan waktu bagi hubungan
jalin-menjalin agensi manusia dan masyarakat Aceh. Kerangka tersebut
merupakan pandang dunia mutualitas sebagai pilihan solusi untuk
membangun strukturasi, corak baru pada pandangan dunia masa depan Aceh.
Bangunan baru yang saling menghidupkan dan tidak mematikan melalui
“moralitas dan hukum” dalam pelbagai praktik sosial kemanusiaan yang
penuh tantangan.
[5 Konsep enlightenment
agaknya patut dijadikan titik sentral pembangunan agensi Aceh masa
depan. Metafora dasar pencerahan adalah cerah, yang diasumsikan sebagai
terbitnya kejernihan pemahaman intelektual. Metafora ini berhadapan
dengan kegelapan sebagai konsekuensi keabaian dan kebingungan emosional
yang melekat kuat pada tatanan masyarakat lama yang tradisional (the old order).
[6]
Pada era pencerahan muncul konsensus bahwa tanggung jawab moral yang
tercerahkan terdapat dalam pendidikan politik yang memberdayakan
masyarakat.
[7]
Landasan pencerahan ini sangat relevan dengan kondisi struktural kita
yang lebih merujuk pada kesadaran (sejarah) komunitas lama dengan
keberadaan agensi manusia masa kini yang semakin progresif.
Proyek
pencerahan lebih pada upaya untuk memperbaiki segala kebiasaan,
termasuk gejala takhyul, keterbelakangan, praktik-praktik sosial dan
institusi-institusi yang “memelihara” semua kebingungan (dark) itu.
[9] Tujuan proyek adalah untuk melakukan emansipasi masyarakat dari kekangan-kekangan kuat dan prasangka-prasangka mematikan (“pengusiran non-manusiawi karena melanggar moralitas adat”), seperti “pembunuhan watak” (character assassination) dari rahim tradisi dan sistem nilai-budaya relegi peninggalan era kegelapan.
[10]
Dengan “ucapan salam perpisahan” untuk “masa kegelapan” dan “rezim
kuno”, sebagaimana diucapkan pemikir pencerahan, itu berarti nalar
manusia telah hidup sebagai pengendali dan refleksi diri menuju arah
terwujudnya suatu masyarakat yang baik (the good society).
Di penghujung abad ke-18 masyarakat dunia kembali pada ucapan terkenal seorang filosof Romawi, Horace (65 SM), yakni Sapere Aude, Dare to Know, and Have the courage to use your own understanding.
Makna bebasnya, hai agensi manusia “teguhlah kamu pada hasil pemikiran
sendiri”, “jangan hanya membeo”, (“jangan meniru saja perkataan orang
lain tanpa memahami maksudnya”), “pakailah akal-budimu”. Itulah antara
lain ungkapan pemikir pencerahan melalui tanda seru besar.[12] (Bandingkan dengan Karya sufis Jalaluddin Rumi)
Immanuel Kant (1724-1804) adalah barisan pemikir itu, dengan pernyataannya bahwa enlightenment is man’s emergence from immaturity.
[13] Inti pencerahan itu adalah kematangan berpikir (yang menghasilkan kebebasan dilandasi tanggung jawab untuk bertindak dengan pemahamannya sendiri), dan mampu merealisasi pemahaman hasil pemikirannya itu tanpa tergantung pada bantuan orang lain. (Betapa
produktivitas kita pasca-BRR di Warkop semakin menurun secara rasional,
itu pengalaman imitasi pada gaya hidup para pendatang).
Dengan demikian, pendewasaaan diri agensi manusia menempatkan kebenaran bersinggasana pada nalar akal-budinya.
[14] Kebenaran tidak berdiam diri pada (perkataan) mulut para “penguasa” wilayah relegi.[15]
Immanuel Kant menyalahkan zamannya karena tidak mendaya-gunakan nalar
untuk menjadikan manusia matang, dewasa. Hal ini untuk menunjukkan bahwa
pematangan diri manusia adalah pembenaman rasionalitas (akal-budi)
sebagai pemandu kehidupan mereka.
[16]
Jadi, pencerahan adalah ‘suatu proses di mana manusia berpartisipasi
sekaligus tindak keberanian melakukan penyempurnaan diri secara
personal’.
Memang
pada masa Kant terbukti orang-orang dengan berani menggunakan
pemahamannya sendiri dalam menanggung batu ujian dari (kekuasaan)
kebiasaan represif, prasangka mematikan, kesewenang-wenangan kekuasaan,
meskipun nyawa taruhannya.
[18]
Pameo “lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin
bangkai” menjadi prinsip yang dijunjung tinggi masyarakat pada masa itu.
Pengalaman Galileo Galilei pada abad ke-17 adalah drama paling tragis
sebagai upaya penolakan tegas atas otoritas kontrol rohaniawan terhadap
segala bentuk pengetahuan dan (monopoli) klaim absolut atas kebenaran
duniawi.
[19] Kerangka refleksi dualisme pandangan dunia ini diambil dari teori Strukturasi Anthony
Giddens, 1984. Ia menaruh perhatian pada masalah dualism yang
menggejala dalam teori ilmu-ilmu sosial. Dualisme itu berupa Clash
antara subjektivisme dan objektivisme, voluntarisme dan determinisme.
Subjektivisme dan voluntarisme adalah pandang dunia yang memprioritaskan
tindakan atau pengalaman individu di atas gejala keseluruhan. Sedangkan
objektivisme dan determinisme merupakan kecenderungan pandangan dunia
yang menekankan gejala keseluruhan di atas tindakan individual. Jadi, praktik sosial kebijakan publik di Aceh, boleh jadi, memperlihatkan bagaimana profil konstitusi masyarakat Aceh. (Kerangka
acuan relasional mengandaikan perangkat berpikir analogi dan penalaran
abstrak; dan karena itu patut kita kaitkan penjelasan ini dengan
pelbagai tradisi para filosof dan intelektual Islam pada masa
kejayaannya).
Beberapa
pengalaman empirik dalam masyarakat Aceh baik secara sosial, budaya,
ekonomi, dan politik memperlihatkan dimensi positif (sebagaimana adanya)
degradasi moralitas-kolektif dan kemunduran rasionalitas-substantif.
[20]
Hubungan sosial emansipatif, egaliter, sejajar, misalnya, yang
diperagakan para pelayan publik (birokrat, administrator, pemerintah
tempatan) kita di banyak organisasi pemerintahan sipil dan militer,
birokrasi formal, informal, non-formal masyarakat semakin tidak
dilandasi hubungan rasional (impersonal).
[21]
(Pelaku) organisasi sosial (-politik) produk Iptek modern, dan
karenanya juga para administrator, apparatus, tidak menggunakan
pandangan dunia (cara-cara berpikir dan bersikap-tindak) yang kondusif
dengan putaran mesin birokrasi rasional yang menekankan pada hubungan
impersonal, efisien dan efektif.
[22]
Dalam kaitan itu, ada banyak masalah yang menimbulkan katidak-adilan,
ketidak-jujuran, dan ketidak-benaran bagi masyarakat luas, utamanya
oligarki kekuasaan yang merugikan banyak orang tidak mampu.
Kondisi
sosial-budaya dalam bidang pendidikan kita juga patut menjadi perhatian
yang non-deterministik. Artinya, ada hubungan tidak seimbang antara
kapasitas dan kompetensi para agency (guru-guru, para dosen,
pengajar, dan pimpinan di berbagai institusi pendidikan) dengan
perangkat sistem pembelajaran yang modern-rasional.
Pendekatan
ini tidak bermaksud untuk menyederhanakan bahwa semua produk pemikiran
rasional itu memiliki hubungan mutualitas dengan para subjek dalam
masyarakat kita yang sedang membangun. Sebagaimana dinyatakan Ignas
Kleden bahwa variabel latar belakang pengalaman dan
kepentingan-kepentingan atas dasar perbedaan ras, kesukuan, dan
keagamaan membuat warna demokrasi kita lebih dinamis dibandingkan
pengalaman negara-negara di Eropa yang relative homogen. Oleh karena
itu, ada paradoksnya bahwa pendekatan relasional mengganggap penting
sejumlah kearifan lokal redefinisi dari cara-pandang komunitas lampau
yang patut dijadikan modal sosial bagi para agensi (atas/besar,
menengah/sedang, dan bawah/kecil) untuk membentuk kerangka acuan baru
yang inspiratif dan membumi.
[24] Pengalaman
yang mencerahkan para agensi baik dari Immanuel Kant maupun Ibnu Rusyd
patutlah diambil saripatinya untuk memungkinkan masyarakat Aceh generasi
baru memiliki kapasitas individual dan komunal serta stock-pengetahuan
lokal dan universal. Tidak semua struktur (moralitas dan hukum) masa
lampau baik dari dalam maupun dari luar Aceh kadaluarsa untuk keperluan
landasan masyarakat sekarang dan masa mendatang. Untuk kepentingan itu
generasi lama (representasi pemimpin kenegaraan) haruslah meningkatkan
relasi-bersinerji mereka dengan kaum muda (representasi agensi
kemasyarakatan) secara mandiri (swadaya) dan terorganisasi (terencana)
secara rasional.
[25] Dengan
andalan kerangka pikiran yang mencerahkan semua pihak, baik para
pemimpin yang mewakili organisasi kemasyarakatan atau negara (sosial,
budaya, ekonomi, dan politik) maupun masyarakat secara individual dan
kelompok patut bersinerji. Relasi kerjasama kedua pihak untuk
kepentingan pembangunan nurani kemanusiaan yang adil dan beradab,
utamanya di Aceh mestinya didasarkan pada parameter kapasitas dan
knowledgeabilitas yang objektif. Hanya agensi yang memiliki kedua ukuran
tersebut yang mampu memberikan pengaruh yang menentukan dan berjalinan
secara signifikan pada bentukan panduan berperilaku baru. Dilihat dari
kekhasan Aceh secara subjektif adalah sangat mungkin titik sentral
pembangunan nurani kebersamaan yang sinerji ke depan strategis dimulai
dari kampus sebagai taman ilmu pengetahuan modern-rasional dan peradilan
mahkamah syariah yang mencerahkan secara humanis.
[26]Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada bagian-bagian terdahulu dapat diturunkan ke dalam beberapa simpulan berikut ini.
1. Ketiadaan
pencerahan (transformasi) yang tuntas dari perjalanan kemasyarakatan
Aceh masa lalu dan masa sekarang terlihat nyata melalui dominasi dan clash
panduan moralitas dan hukum yang bersifat deterministik. Sistem
nilai-budaya masa lampau cenderung secara sepihak dilegitimasi para
elite dan cendekiawan kita tanpa landasan keilmuan yang memadai untuk
menjadi panduan masa kini yang aspiratif dan humanis. Semangat
pencerahan dengan komitmen relasional demokratis dapat memungkinkan
sebagai pilihan sadar untuk pembangunan masyarakat Aceh yang
bermartabat. (harkat-martabat dalam wujud jujur, benar, dan adil, amanah, dan istiqamah).
2. Masyarakat
Aceh sedang mengalami kegelisahan akan kehilangan identitas dan
martabat secara ideologis(-politis) dan tak-terukur. Kegundahan itu
membawa-serta konsekuensi daya pikir para agensi keacehan mengalami
kemandegan dan tidak lagi berorientasi pada pencerahan akal-budi yang
terorganisasi secara sadar dan didukung oleh semangat asketis yang
mengglobal.
3. Untuk
menuju masyarakat yang seimbang dan demokratis dalam bingkai keAcehan
baru dibutuhkan beberapa prasyarat yang lama dan pengalaman sekularisasi
non-determinisme. Jalinan relasional antara schemata struktural (moralitas dan hukum) dan agensi keacehan, keduanya, akan menghasilkan acuan konsepsional yang mencerahkan secara internal (pendidikan
logika, etika, dan estetika melalui berbagai institusi non-formal,
informal, dan formal, utamanya Kampus Universitas di Aceh sebagai taman
pengetahuan yang non-ideologis) dan eksternal (peradilan agama, Mahkamah Syari’ah yang humanis) dalam wujud referensi pandangan dunia yang rasional dan universal.
---------------------------OOOOOO----------------------
Naskah
ini dipersiapkan sebagai Narasi Kebudayaan pada acara “Tafakur
Kemanusiaan”, di Ballroom Hermes Palace, Banda Aceh, Jumat/31 Desember
2010. Terima kasih kepada Prof. Bahrein T. Sugihen, Ph.D. yang telah
membaca dan memberi warna agensinya pada naskah ini.
Setelah belajar Hukum dan Pembangunan Masyarakat pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, penulis meneruskan
pendidkan jenjang magister dan doktoral dalam bidang sosiologi pada
FISIP-UI. Saat ini yang bersangkutan adalah lektor kepala dalam bidang
sosiologi hukum pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
[1] Betapa
Produk hukum formal, Qanun Jinayat 2009, yang pernah mendapatkan
tanggapan pro-kontra beberapa waktu lalu baik di tingkat nasional maupun
dunia dianggap melanggar hak-hak asasi manusia. Lihat http://www.acehkita.com/berita/qanun-jinayat-melanggar-ham/ diakses pada 25 December 2010.
[2] Lihat
berbagai diskusi untuk membedah isi Rancangan Qanun (Raqan) Tahun 2010
Tentang Wali Nanggroe sebagai salah satu panduan yang diusulkan Lembaga
Legislatif Aceh. Raqan itu hampir tidak ada relasi positif antara
kesadaran komunitas (bangsa) Aceh masa lampau (era Monarchi dan
teokrasi) dengan keberadaan masyarakat yang heterogen masa kini.
(Serambi Indonesia, 18 Desember 2010:2).
[3] Beberapa
ahli ilmu sosial sepakat bahwa bentuk panduan hidup masyarakat yang
menekankan pada moralitas kolektif (hati nurani bersama) cenderung lebih
banyak menggunakan hukum yang menindak (represif) daripada dalam
masyarakat urban (perkotaan, kosmopolitan) yang lebih sering memilih
hukum yang mengganti (restetutif). Berdasarkan pengalaman sejarah
perkembangan masyarakat di dunia, panduan hidup bersama (hukum) itu
berevolusi dari format yang represif menuju bentuk moralitas individual
yang cenderung restetutif. Bagaimanapun, hal itu tidak dapat dipilah
secara tegas, dalam artian di mana ada banyak yang represif di situ
hanya sedikit yang restetutif.
[4] Cara-pandang
dualisme itu antara lain sebagaimana yang digagaskan oleh para ahli
ilmu-ilmu sosial dari kubu strukturalisme dan fungsionalisme. Misalnya,
strukturalisme Claude Levi-Strauss mengenai aplikasi analisis bahasa
(perbedaan antara ‘langue’ dan ‘parole’) sebagai alat analisis gejala
sosial dan kemanusiaan. Pada tataran ‘langue’ (logika internal penunjuk)
dipahami secara otonom malampaui objek ditunjuk. Sedangkan
fungsionalisme merujuk pada Talcott Parsons dimulai dari ‘problem of
order’ sehingga dibangun suatu asumsi ‘functional pre-requsite’, setiap
masyarakat harus dipenuhi beberapa pra-syarat fungsional.
[5] Orang-orang secara individual dan kolektif (agency) itu kabanyakan mewarisi pandangan dunia (world-view)
yang telah mentradisi secara turun-temurun, cara-cara berpikir,
bersikap-tindak, dan berperasaan yang relatif seragam sehingga membentuk
suatu solidaritas yang bersifat mekanis-seragam (dalam kesusilaan,
kesopanana, dan cara beragama). Individu-individu dalam komunitas
demikian hampir dapat dikatakan sebagai robot-robot yang hidup tanpa
peran yang berbeda dari patron hati-nurani kolektifnya.
[6] Kemunduran
umat Islam dalam berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan modern,
antara lain, disebabkan melemahnya penguasaan spesialisasi keilmuan,
minimnya terjemahan karya-karya ilmiah, referensi yang tidak memadai,
dan syllabus pendidikan yang sudah “out of date”. Lihat Yusra Habib
Abdul Gani, “Alquran di Eropa”, Opini Serambi Indonesia, 24 Desember
2010:22.
[7] Lihat Hearn, Frank. Reason and Freedom in Sociological Thought, Boston: Allen & Unwin, 1985:8-13.
[8] Meskipun
keberadaan manusia individual sebagai makhluk yang mengerti dan
menyadari siapa dirinya, di mana tempat hidupnya, dan bagaimana
sejarahnya, namun sebagai agency mereka bergelimang dengan
kondisi empirik dan berada pada tingkat substantif-mikro. Konsepsi yang
demikian itu adalah hasil mutualitas individu dan struktur sosialnya
yang humanis. Dalam hubungan itu akan menunjukkan suatu proposisi bahwa
menjadi seorang agent haruslah mampu mensiasati dan merekayasa
hidupnya. Menurut Giddens seorang individu sanggup membuktikan hakekat
kemanusiaannya, menjadi dirinya sendiri yang rasional, dalam aktivitas
kongkrit dan sekaligus refleksif. Lihat Giddens, The Constitution of
Society, Outline of the Theory of Structuration, Polity Press, 1984.
[9] Mungkin
pelbagai bentuk bid’ah atau keyakinan yang tidak dilandasi panduan yang
rasional dapat dianggap bagian dari ketidak-matangan dalam pemikiran
akal-budi.
[10] Menurut
Morse Peckham, pencerahan cenderung “menekankan pada kekuatan kesadaran
individu dalam rangka mereka berkreasi berlandaskan pada dirinya,
dengan visi yang tepat tentang order, untuk menemukan latar sejati, bagi kepekaan nilai sumber identitasnya sendiri”. Pada dasarnya, keabaian (ignorance,
kedunguan) adalah sumber kegelisahan manusia di dunia. Ketika ignoransi
itu mampu diatasi, maka nalar individu memperlihatkan keunggulannya,
dan dunia manusia akan menjelma sebagai “firdaus” yang menyenangkan
untuk dihuni.
[11] Salah satu ciri atau parameter manusia modern adalah mereka yang sudah mengalami kehidupan industrial adalah class devided society.
[12] Lihat Tarian Sufi Jalaluddin Rumi: "Jernihkan pandanganku Ya Allah, Ya Rabb; Agar aku dapat melihat wajah-Mu di barat dan di timur..." "Bangkitlah, kini bangkitlah sebagai manusia baru!" Jalaluddin Rumi Diunduhdarihttp://search.yahoo.com/search?p=Jalaluddin+Rumi%2C+bangkitlah&fr=ush-mail pada 24 Desember 2010.
[13] Individu yang berkemandirian mencerahkan (enlighted self-love),
boleh jadi, adalah mereka yang memiliki kemampuan kreatif dan inovatif
dalam arus modernisasi global. Individu yang dimotivasi oleh spirit
(etika) tradisional (komunalisme: sistem nilai-budaya) yang diperoleh
melalui relasi intra-generasi (nasihat orang tua dan kearifan lokal).
[14] Perkembangan sciences dan sosio-kultural abad ke-13 & 14 (di Barat) telah membawa-serta pengaruh pada puncak perkembangan sains, Renaisans (seni dan filsafat), dan Reformasi (agama) di Eropa abad ke-15 & 16. Ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat dari dunia Islam (dipelopori Ibn Rushd, abad ke-13) diasumsikan salah satu sumber inspirasi puncak pencerahan itu. Perdebatan serta konotasi Barat (materialisme, intelektualisme, dan individualisme) dan Timur (spiritualisme, emosionalisme, dan kolektivisme) ternyata tidak hanya berkaitan dengan kemajuan iptek dan modernitas (lihat Polemik Kebudayaan S.T. Alisyahbana dalam Daniel Dahkidae, Cendekiawan dan Kekuasaan, 2003).
[15] Itulah tanda-tanda zaman ketika altar
(mazbah, tempat mempersembahkan kurban) digusur oleh nalar manusia.
Suatu zaman ketika istana sebagai pusat referensi simbolik digantikan
oleh perpustakaan. Dalam perkataan lain, orang-orang tidak dapat lagi
diandalkan dari apa yang mereka katakan, melainkan sudah sampai waktunya
untuk melihat dan memahami rekaman apa yang telah dikerjakan
orang-orang yang hendak mengatakan dirinya berhasrat untuk menjadi
pemimpin atau penguasa di dunia.
[16] Pemikiran Islam rasional (Ibn Rushd, hidup di penghujung “era keemasan” Islam) yang pernah tumbuh di Barat (Maghrib) pun berseteru dengan pandangan dan perilaku kaum muslim dunia Timur (Masyrik). Itu, antara lain, karena ulama konservatif merasa terancam dengan “ilmu-ilmu klasik” Yunani (vide Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan, 2001).
[17] Lihat Budiman, Hikmat. Pembunuhan yang Selalu Gagal: Modernisme dan Krisis Rasionalitas Menurut Daniel Bell, Yogya: Pustaka Pelajar, 1997. Lebih jauh, Ibn Rushd adalah autonomous agent (membawa ide tentang kebenaran ganda) dengan identitas tersendiri (sebagai Averoisme, 1270), memiliki kesadaran diskursif (capability) yang memungkinkan dia merasionalisasikan keberanian ajaran dan tindakannya. Dia mampu memberikan dasar dan alasan mazhab pemikirannya dan terus mengkomunikasikannya. Dengan knowlegeability
dia berani bertindak dan memahami tindakan orang lain ketika orang itu
tidak mampu mengartikulasikan dasar pemikirannya secara diskursif.
[18] Di
zaman pertengahan memang bidang tafsir dan pengajaran kehidupan menjadi
hak istimewa agamawan yang menyebkan pemiskinan kehidupan intelektual
dan sosial.
[19] Menurut Kant
pencerahan adalah “keluarnya manusia dari ketidak-matangan yang
diciptakannya sendiri, yakni ketidak-mampuan seseorang menggunakan
akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidak-matangan itu terjadi bukan karena kurangnya daya-pikir, melainkan disebabkan kurangnya determinasi dan keberanian (individu) menggunakan pemahaman sendiri”. Dalam beberapa hal, Ibn
Rushd adalah model kemandirian akal-budi yang dilandasi keberanian
berpikir (melawan pemikiran individu yang dikultuskan dan dilembagakan)
dan bertindak untuk membebaskan manusia di dunia agar berpikir rasional
tentang dirinya dan masyarakatnya.
[20] Secara sosial termasuk gejala erosi moralitas kolektif (collective conscience) sebagai modal sosial antara lain terjadi dalam konteks kerjasama mekanis (Durkheim: mechanic solidarity),
gotong royong, untuk kebutuhan komunitas tempatan. Gubernur Aceh
mengajak masyarakat untuk menghidupkan budaya gotong royong adalah salah
satu bentuk keprihatinan degradasi dalam solidaritas mekanis produk
komunalisme-relijius komunitas Aceh akhir-akhir ini. Lihat “Gubernur
Ajak Masyarakat Hidupkan Budaya Gotong Royong”, Tabloid Tabungan Aceh, Edisi 07, Agustus 2010:15.
[21] Betapa
memprihatinkan keadaan mutakhir semangat keadilan, kejujuran, dan
kebenaran yang pernah menjadi andalan peradaban dan kejayaan masyarakat
Islam di Aceh pada masa lampau. Gejala ini untuk menunjukkan bahwa
pengalaman masa lampau yang sudah menjadi bagian dari kesadaran
orang-orang Aceh tidak serta-merta dapat dihadirkan untuk menjadi
panduan, andalan mereka untuk menghadapi tantangan masa kini. Lihat
“Salam Serambi: Rekruitmen CPNS Masih Gaya Lama” yang rentan KKN,
Serambi Indonesia, 1 Desember 2010.
[22] “Kepala
Daerah Memang Gampang untuk Korupsi”, Mendagri Gamawan mengungkapkan
bahwa selama era reformasi 17 Gubernur dan 150 Bupati dan Walikota masuk
penjara karena korupsi. Lihat Salam Serambi, Serambi Indonesia, 19
Oktober 2010. Kasus dugaan korupsi 220 M oleh Bupati dan Wakil Bupati
aceh Utara masih mengancam keadilan masyarakat Aceh.
[23] Ada
banyak kasus kejahatan dan pelanggaran di bidang hukum, seperti antara
lain dipublikasi dalam tajuk: Salam Serambi, “Kejaksanaan Kembali Ingin
Cegah Korupsi” yang dikemukakan setiap Kepala Kejaksaan baru di Aceh.
Lihat Serambi Indonesia, 24 November 2010:18. Berbagai
rahasia umum dapat diperoleh dari anggota masyarakat tentang pelanggaran
moralitas dan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang
menimbulkan kejahatan dan pelanggaran hukum dalam masyarakat. Hal itu
antara lain disebabkan kontradiksi kesadaran (hukum) komunitas dengan
keberadaan (kebutuhan) mereka dalam menghadapi kemungkinan masa depan
yang lebih baik.
[24] Bahwa
berbagai krisis negara modern terus saja akan berlangsung, sementara
kebebasan individu dan aktivitas kelompok-kelompok masyarakat akan
semakin berperan untuk penciptaan kesejahteraan mereka sendiri. Menurut
Thomas L. Freidman (2000) dalam A. Sudiarja menyebutkan ada tiga
gelombang globalisasi yang semakin menurunkan peran Negara, utamanya di
bidang ekonomi. (1) Negara modern memang masih mempunyai peran besar;
namun gelombang (2) dan (3) peran negara sudah digeser oleh
perusahaan-perusahaan multi-nasional dan akhirnya oleh para individu
(agensi).
[25] Dalam
The Third Way (1998) Giddens telah menginsinuasikan pentingnya
pembentukan masyarakat warga. Namun, ia masih percaya pada peran Negara,
sejauh tetap dilakukan perombakan dalam relasinya dengan masyarakat.
Ini untuk menunjukkan bahwa Giddens mengusulkan pendekatan
relasional yang memperhatikan kebutuhan timbale-balik antara pemimpin
yang mewakili Negara dan para agensi mewakili masyarakat warga.
[26] Menurut
Eko Prasetyo, peneliti pusat studi HAM Universitas Islam Indonesia
Yogayakarta, sejumlah perguruan tinggi belakangan ini ditengarai menjadi
lahan subur bagi tumbuhnya gerakan mahasiswa dengan basis ideology,
tidak hanya berhaluan kanan, tetapi juga yang berhaluan kiri. Melalui
gerakan ideologis itu bahaya dan potensi kekerasan dengan mudah muncul
disebabkan masing-masing merasa benar. Oleh karena itu,agar kampus
nir-kekerasan diperlukan dukungan mengubahnya menjadi kampus sebagai
taman pengetahuan. Komunitas kampus patutlah menjadi teladan di tengah
masyarakat, da mampu menerima heterogenitas. Masyarakat Islam yang
otentik adalah agensi kemanusiaan yang mencerdaskan, pendukung Islam
yang memuaskan akal-budi, dan penganut yang menentramkan jiwa publik.
Lihat “Kampus harus jadi Taman Pengetahuan”, Serambi Indonesia, 26
Desember 2010:2.
http://salehsjafei.blogspot.com