post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Qanun Wali Nanggroe Milik Aceh

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan Qanun Wali Nanggroe. Merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan MoU Helsinki. Tidak melanggar konstitusi negara.===========
Beberapa pegawai negeri sipil di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh tampak duduk di pintu masuk utama gedung, Jumat 2 November 2012. Seorang di antaranya sibuk melayani absensi undangan. Tepat pukul 09.43 WIB, sejumlah anggota dewan memasuki ruangan paripurna. Mereka satu per satu duduk di tempat masing-masing. Sidang kali ini dipimpin Wakil Ketua DPR Aceh, Amir Helmi.
Amir mengesahkan Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe menjadi Qanun Aceh bersama tiga rancangan qanun lainnya: Dana Abadi, Perkebunan, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh. “Lembaga Wali Nanggroe beserta perangkat dan lembaga adat memiliki kewibawaan subtansial. Kita berharap Qanun ini nantinya menjadi kekuatan alternatif menyelesaikan berbagai masalah kemasyarakatan ketika kekuasaan formal tidak mampu melakukannya,” kata Amir saat itu.
Seusai sidang, Ketua Panitia Khusus Lembaga Wali Nanggroe, Teungku Ramli, mengatakan  itu merupakan qanun penting dalam pembangunan Aceh. “Kita telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Aceh dan luar Aceh karena kelembagaan Wali Nanggroe milik semua rakyat Aceh. Kita sangat berharap qanun ini bisa diterima oleh seluruh masyarakat Aceh,” kata anggota Fraksi Partai Aceh ini.Namun, beberapa hari setelah pengesahan itu, Rabu 7 November 2012, warga di Gayo menggelar aksi soal Qanun Lembaga Wali Nanggroe itu. Mereka menilai qanun belum mengakomodasi kepentingan masyarakat Gayo dan suku-suku lainnya di Aceh Tengah. Aksi antiqanun ini diiyakan DPRK Aceh Tengah.
Menurut Akademisi Aceh asal Takengon, Salman Yoga, kepada The Atjeh Times Kamis pekan lalu, warga Gayo tidak menolak Qanun Wali Nanggroe. Subtansi qanun, kata Salman, yang menjadi permasalahan. “Dasar dari Qanun Wali Nanggroe juga harus ada unsur adat dan budaya Gayo, yakni sarakopat. Pasalnya, suku dan budaya Gayo juga bagian dari Aceh. Ekstensi ragam budaya dan suku yang ada di Aceh harus diakui dalam Qanun Wali Nanggroe,” kata Salman.
Jika substansi qanun yang disebutkan Salman seperti kekhususan berbahasa Aceh untuk Wali Nanggroe, Juru Bicara Fraksi Golkar DPR Aceh, Amiruddin, sudah lebih dulu meminta hal itu diperjelas. “Jika berbahasa Aceh merupakan syarat mutlak, perlu diperjelas bahasa Aceh yang mana? Sebab, bahasa Aceh terdiri dari bahasa Aceh pesisir, Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jamee, dan Simeulu," kata Amiruddin dalam sidang mendengarkan pandangan akhir fraksi DPRA, Jumat 2 November 2012.
Sedangkan Juru Bicara Fraksi Demokrat, Jamaluddin T. Muku, meminta calon Wali Nanggroe dan perangkatnya dites baca Alquran, seperti pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah lainnya. “Sebagaimana seorang calon gubernur dan calon anggota DPRA, DPRA, bupati dan wali kota yang diuji kemampuan membaca Alquran dengan baik,” ujar Jamaluddin.
Hal serupa juga dikatakan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan, Anwar Idris. “Secara keseluruhan kita setuju dengan Qanun Wali Nanggroe agar disahkan menjadi Qanun Aceh,” ujar Anwar. Ketua Fraksi Partai Aceh Teungku M. Harun juga setuju soal isi qanun. Namun, ia meminta ditambahkan beberapa bidang pada majelis khazanah Lembaga Wali Nanggroe, seperti Bidang Langet dan Bidang Laot, serta Pulo.
Seusai mendengarkan pandangan akhir fraksi, sidang sempat diskor pukul 11.15 WIB. Pimpinan sidang saat itu, Sulaiman Abda, sepakat agar usulan fraksi dibahas di Badan Musyawarah DPR Aceh. Usai rapat di Badan Musyawarah, sorenya, Amir Helmi meluruskan soal bahasa Aceh yang dimaksud dalam qanun itu. Soal bahasa ini tercantum dalam pasal 69 poin c dan pasal satu ayat 20.
“Bahasa Aceh yang dimaksud pada ayat tersebut bisa salah satu dari ragam bahasa yang ada di Aceh. Maksud bahasa Aceh tersebut, terdiri dari bahasa Aceh pesisir, Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jamee, dan Simeulue. Keputusan ini sudah kita masukkan dalam rancangan qanun. Hal ini dimaksud karena kelembagaan Wali Nanggroe milik bersama.”
****
Ketua Badan Legislasi DPR Aceh, Abdullah Saleh, Rabu pekan lalu mengatakan, Qanun Wali Nanggroe mempunyai landasan kuat, yaitu Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan MoU Helsinki. “Landasan konstitusionalnya pasal 18b Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Abdullah Saleh. Ia menolak jika dikatakan Qanun Wali Nanggroe melanggar konstitusi Republik Indonesia.
Abdullah Saleh meminta semua pihak tidak ragu sedikit pun tentang Qanun Wali Nanggroe. “Termasuk kepada aparat intelijen yang mungkin ada di sini. Kabarkan kepada semua pihak jangan ada keraguan sedikit pun dengan Qanun Wali Nanggroe,” ujar Abdullah saat menjumpai masyarakat barat-selatan Aceh yang berunjuk rasa ke gedung DPRA.
Anggota DPR Aceh yang juga berasal dari pantai barat-selatan Aceh ini mengatakan syarat bisa berbahasa Aceh tidak diskriminasi. Menurut dia, yang dimaksud bahasa Aceh dalam persyaratan menjadi Wali Nanggroe adalah bahasa yang hidup, tumbuh, dan berkembang di Aceh. “Semua bahasa yang ada di Aceh, termasuk bahasa Jamee, Gayo, dan lainnya yang ada di Aceh,” ujar Abdullah Saleh.
Terkait tidak adanya syarat membaca Alquran dalam qanun itu, Abdullah Saleh menyatakan tatacara pemilihan Wali Nanggroe berbeda dengan pemilu pada umumnya. Menurut dia, Wali Nanggroe akan dipilih oleh Majelis Mufti, Tuha Peut, dan Tuha Lapan dalam komposisi tim. “Wali Nanggroe juga akan dinilai tingkat pemahaman agama oleh tim, termasuk pemahaman Islam yang mendalam. Kita berkaca pada pemilihan khalifah pada zaman Umar bin Khatab,” ujar Abdullah Saleh.

MURDANI ABDULLAH | NAZAR A. HADI | ZULKARNAIN
 http://atjehpost.com