Kota Sabang yang menjadi bagian dari Pulau Weh menyimpan begitu banyak
keunggulan, terutama di sektor sumber daya alamnya. Pulau kecil itu
memiliki cadangan energi panas bumi di dua lokasi sekaligus, memiliki
danau sebagai sumber air bersih dan potensi pariwisata yang menjanjikan.
Jauh sebelum Sabang menjadi seperti sekarang, sejarah kota itu dimulai
sejak masa Kerajaan Aceh. secara garis besar sejarah Sabang terbagi
dalam tiga periode yaitu masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda dan
masa Jepang.Sabang tempo dulu merupakan daerah benteng pertahanan bagi Bandar Aceh,
kini disebut Banda Aceh. konon, di sekitar teluk Balohan pernah
ditemukan 40 pucuk meriam kuno. Yang tertinggal hanya satu pucuk dan
kini diletakkan di Taman Kanak-kanak Malahayati Sabang. Dalam sebuah
buku yang berjudul “Buhairah” karangan Parsi Hshim Beg Fuzumi, dikatakan
bahwa dahulu sebuah armada Portugis berusaha merebut Banda Aceh dan
pulau bentengnya. Namun, usaha tersebut gagal karena Aceh menumpahkan
minyak ke laut dan membakarnya dan memusnahkan armada Portugis.
Pada tahun 1511 Portugis berhasil merebut bandar Malaka. Perebutan ini
menyebabkan para pedagang islam nusantara pindah ke Banda Aceh. Jalur
pelayaran pun beralit dari selat Malaka ke pantai barat Sumatera.Pada 1 Januari 1513, gabungan armada Demak dari Jawa dan Aceh menyerang
Portugis di Malaka, namun gagal. Seiring dengan itu Banda Aceh
berkembang pesat. Kala itu Portugis melakukan kerjasama dagang dengan
kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai, sehingga menyebabkan terjadinya
persaingan dengan Portugis.Tahun 1524 raja Ali Mughayat Syah merebut Pedir dan Pasai, sehingga
Portugis terusir. Namun Portugis berusaha mengalahkan Banda Aceh dengan
berusaha merebut benteng Aceh di Pulau Weh. Tetapi armada Portugis dapat
dikalahkan oleh Aceh. Sehingga Balohan menjadi bagian kerajaan Aceh
yang pertama.
Abad XIX negara Belanda, Inggris, Amerika dan Perancis mulai melirik
Sumatera. Pada tahun 1824 tercapai perjanjian London antara Belanda dan
Inggris yang bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik
Belanda-Inggris di Selat Malaka. Perjanjian ini menetapkan ruang lingkup
pengaruh masing-masing. Dalam perjanjian itu Inggris menjamin
kemerdekaan Aceh, sehingga Aceh pun tumbuh menjadi kekuatan perdagangan
dan politik.Tahun 1820-an Aceh berhasil menjadi pemasok sebagian besar pasokan
kebutuhan lada dunia. Pada tahun 1860-an Belanda memperoleh konsesi dari
Sultan Siak untuk membuka perkebunan tembakau di Deli. Inilah awal
konflik Aceh dengan Belanda karena Siak berada di bawah jurisdiksi Aceh.Tahun 1871 tercapai perjanjian Sumatera antara Inggris dan Belanda.
Inggris memberikan kebebasan kepada Belanda untuk meluaskan kekuasaannya
di Sumatera. Pada tahun 1873 utusan Aceh mengadakan pembicaraan dengan
konsul Amerika di Singapura. Pada bulan April 1873 Belanda mendaratkan
3.000 orang pasukannya yang dipimpin oleh Jenderal Kohler. Namun,
serangan Belanda ini dapat dikalahkan oleh Aceh. Bahkan Jenderal Kohler
tewas.
Akhir tahun 1873 dikirim ekspedisi kedua yang lebih besar dipimpin oleh
Van Swieten. Mereka berhasil menduduki Banda aceh. Perlawanan terus
dilakukan oleh Aceh. Belanda membentuk pasukan khusus, pasukan Marsose
dipimpin oleh Van Heutz meneruskan penaklukan Aceh. Namun perlawanan
Aceh berlanjut terus sampai awal Perang Dunia II.Pulau Weh yang terletak pada 96’ Bujur Timur dan 6’ Lintang Utara
sebagai pulau terbarat Indonesia di mulut Selat Malaka menduduki posisi
geografis yang strategis. Setiap kapal yang memasuki kepulauan Indonesia
dan Asia Tenggara serta Asia Timur harus melewatinya. Belanda menyadari
hal ini, kemudian Belanda membangun kota Sabang dan pelabuhannya.Tahun 1895 Sabang dinyatakan secara resmi menjadi pelabuhan bebas.
Sabang terutama berfungsi sebagai pelabuhan pemasok bahan bakar kapal
dan pengisian air bersih. Tahun 1899 dibentuklah ‘NV. Zeehaven en
Kolenstation Sabang” yang memasok batubara, air bersih, bengkel dan
docking kapal, pekerjaan konstruksi serta keagenan perusahaan
perkapalan.
Untuk kelengkapan pelabuhan, selain dermaga, dibangun pula
gudang-gudang batu bara, derek untuk bongkar muat batu bara yang
digerakkan tenaga listrik buatan pabrik Kruppt, Jerman. Belanda juga
menempatkan satu pasukan marsose di Sabang. Untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja Belanda memasukkan tenaga kerja dari berbagai daerah di
Indonesia, termasuk juga dari Arab, Nias, Cina, Jawa. Oleh karena itu
penduduk Sabang sangat heterogen.
Sejak itulah Belanda di Sabang mencapai kejayaannya, dan menjadikan
pelabuhan Sabang sebagai pelabuhan lima besar di Indonesia saat itu,
yang hingga kini masih bisa kita lihat dengan jelas jejak karya mereka,
mulai dari bangunan pelabuhan, perumahan dan basis pertahanan serta
peninggalan aset kultural yang diwariskan kepada warga Sabang, yaitu
heterogenitas budaya yang mewatak dalam generasi Sabang.
Artikel ini dikuti dari group Sabang Heritage Society (SHS)
http://atjehpost.com